Leovhaty terpaksa harus menangguhkan rencananya kembali ke Indonesia setelah pemerintah Malaysia menerapkan kebijakan lockdown, yang lebih dikenal dengan istilah Movement Control Order atau Perintah Kawalan Pergerakan yang dimulai sejak 18 Maret 2020.
Pria yang tengah bekerja di salah satu perusahaan multinasional ini mengaku telah menyiapkan stok makanan hingga 7 hari ke depan. Namun, pemerintah setempat rupanya memperpanjang masa Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) hingga 14 April sehingga dia merasa perlu untuk menambah stok makanan dengan berbelanja ke pusat grosir.
Penyandang Master of Business Administration dari Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa lockdown yang diterapkan oleh pemerintah Malaysia tidaklah sepenuhnya penguncian total. Masyarakat tetap dapat berbelanja ke pasar, supermarket, restoran, atau apotek tetapi dengan pengawalan dan pengaturan yang ketat.
Bahkan untuk berbelanja ke luar rumah, hanya diperkenankan satu orang saja, jika lebih, maka kendaraan akan diberhentikan.
Penjagaan pun sangat ketat, tidak hanya melibatkan polisi tetapi juga tentara untuk memastikan tidak ada masyarakat yang keluar rumah, jika memang tidak diperlukan.
Adapun, untuk memenuhi kebutuhan pangan, selain dengan menyetok makanan, Leo juga beberapa kali menggunakan jasa pengantaran makanan seperti Grab Food atau Food Panda yang masih tetap beroperasi.
“Untuk keluar rumah di sini ribet, karena polisi akan mengecek satu per satu. Untuk pekerja yang work from home [WFH] saat keluar rumah akan dicek ke kantor, apakah ada surat izin bekerja. Terus kalau yang memang tidak bisa WFH karena bekerja mobile, harus membawa surat izin perusahaan,” ujarnya.
Dengan pengawalan yang cukup ketat tersebut, banyak masyarakat yang enggan keluar rumah, begitu pun dengan Leo. Pasalnya, setiap warga yang tetap membandel dan tidak mengikuti peraturan akan mendapatkan peringatan yang nantinya dapat terdeteksi melalui sistem. Makin banyak peringatan yang didapatkan, akan makin sulit bagi warga tersebut untuk mengurus berbagai hal.
Baca Juga
Memasuki hari ke-10, pemerintah kian tegas dengan aturan tersebut. Setiap warga yang keluar rumah tanpa kepentingan dan melanggar perintah kawalan pergerakan akan ditahan, tujuannya tentu saja untuk memutus rantai penularan Covid-19.
Keputusan Perdana Menteri Malaysia mengeluarkan kebijakan Perintah Kawalan Pergerakan tersebut dilakukan karena adanya lonjakan jumlah pasien positif Covid-19 hingga dua kali lipat menjadi 553 kasus.
Nadia Elias, Assistant Manager, Research & Advisory KRA Malaysia menceritakan ketika kasus positif Covid-19 terdeteksi pertama kali pada Januari 2020, secara umum masyarakat memang merasa waspada tetapi tidak terlalu khawatir.
Hingga akhirnya pada 15 Maret 2020, kasus positif Covid-19 di Malaysia meningkat hampir dua kali lipat dan telah menyebar ke berbagai wilayah di Negeri Jiran tersebut.
Lonjakan tersebut sebagian besar berasal dari kluster jamaah tabligh di Masjid Jamek, Sri Petaling yang digelar 27 Februari hingga 1 Maret yang dihadiri lebih dari 15.000 jamaah dari berbagai Negara.
“Kemungkinan karena penyebaran virus itu, Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mengumumkan Perintah Kawalan Pergerakan mulai 18 Maret hingga 31 Maret untuk mencegah penularan virus Covid-19. Namun kebijakan ini akan diperpanjang hingga 14 April 2020,” ujarnya.
Dalam menerapkan kebijakan tersebut, pemerintahan Malaysia memang bersikap tegas dan melibatkan aparat kepolisian dan militer sehingga hampir 95 persen masyarakat patuh dengan aturan pembatasan tersebut, baik Warga Negara Malaysia maupun Warga Negara Asing.
Menurut Nadia, setelah adanya pemberlakukan kebijakan tersebut, jumlah pasien positif Covid-19 memang masih tinggi tetapi lebih terkontrol. Dia berharap dengan tingginya kepatuhan masyarakat atas kebijakan tersebut, dapat mengurangi jumlah pasien positif dalam beberapa minggu ke depan, mengingat masa inkubasi Covid-19 membutuhkan waktu 14 hari.
Berdasarkan data per Kamis (27/3.2020), jumlah pasien positif COVID-19 di Malaysia mencapai lebih dari 2.000 kasus, di mana lebih dari 1.000 kasus positif di antaranya berasal dari klaster jamaah tabligh di Masjid Sri Petaling.
Meski jumlah pasien positif COVID-19 di Malaysia merupakan yang tertinggi di Asean, tetapi jumlah kasus kematian terbilang cukup rendah hanya sekitar 23 pasien. Hal ini tidak lepas dari sistem layanan kesehatan yang mempertahankan standar praktik yang tinggi.
Kementerian Kesehatan Malaysia juga telah memiliki standard layanan yang tinggi sehingga lebih siaga ketika menghadapi pandemi sejak dini serta memprioritaskan kecukupan dan ketersediaan obat untuk mengatasi gejala-gejala virus.
“Perdana Menteri juga akan mengalokasikan 500 juta ringgit ke Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan kemampuannya, serta 1 miliar ringgit untuk memperoleh peralatan dan layanan untuk memerangi virus,” tuturnya.
STIMULUS EKONOMI
Nadia juga menuturkan bahwa pemerintah telah meyakinkan ketersediaan makanan cukup untuk seluruh masyarakat di Malaysia, dan mendesak masyarakat untuk tidak menimbun makanan yang tidak diperlukan.
Untuk memastikan ketersediaan pangan dan obat-obatan bagi masyarakat, pemerintah memprioritaskan sejumlah industri untuk tetap beroperasi terutama yang berkaitan dengan makanan, farmasi, supermarket, restoran, dan jasa pesan antar.
“Pemerintah saat ini memprioritaskan industri yang sangat vital untuk tetap bisa beroperasi, terutama untuk bisnis-bisnis yang berkaitan dengan makanan dan obat-obatan, dan bisnis yang kemungkinan sangat mahal jika operasional dihentikan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah Malaysia telah mengeluarkan Paket Stimulus Ekonomi dengan menyiapkan anggaran sebesar 250 miliar ringgit atau sekitar Rp929 triliun untuk mendukung semua lapisan masyarakat dalam menghadapi kondisi saat ini.
Dari nilai tersebut, 1 miliar ringgit di antaranya dialokasikan untuk Dana Keamanan Pangan yang dapat membantu dan mendukung petani serta nelayan menjaga stabilitas pasokan pangan domestik.
Paket tersebut menurutnya juga mencakup dukungan keuangan bagi sejumlah perusahaan sehingga dapat memastikan bahwa warga Malaysia masih tetap memiliki pekerjaan saat ini.
“Bantuan tunai akan disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah dengan total 10 miliar ringgit. Pemerintah juga mengizinkan anggota yang berusia di bawah 55 tahun untuk menarik 500 ringgit dari tabungan pensiun mereka,” terangnya.
Meski saat ini pemerintah sudah mengeluarkan berbagai stimulus, tetap saja kebijakan PKP ini memukul sejumlah industri. Ekonom bahkan memprediksi 60 persen masyarakat di Malaysia akan kehilangan pekerjaan, terutama yang berasal dari pekerja tidak terampil.
Menurutnya, dalam kondisi saat ini pemerintah tampaknya akan lebih fokus pada pelaku usaha kecil dan menengah untuk memastikan usaha yang mereka jalankan bisa tetap berlanjut.
Sementara itu, Muhammad Zarif Shamil salah satu karyawan swasta di Malaysia mengatakan ketika pertama kali pemerintah mengeluarkan kebijakan lockdown, tidak sedikit masyarakat yang merasa khawatir. Namun, pemerintah Malaysia telah mengumumkan paket bantuan kepada semua lapisan masyarakat dan bisnis.
Misalnya saja menangguhkan cicilan pinjaman dari bank tidak perlu dibayar dan pinjaman diperpanjang. Selain itu, memberikan bantuan per bulan kepada masyarakat yang membutuhkan dana, termasuk driver ojek online seperti Grab yang tidak mendapatkan pelanggan atau masyarakat yang tidak dapat bekerja setelah kebijakan diberlakukan.
Begitu pula dengan toko-toko yang ada di mal atau pusat perbelanjaan tidak perlu membayar sewa untuk beberapa bulan ke depan. Para pelaku usaha kecil dan menengah juga akan mendapatkan bantuan dari sejumlah perusahaan.
“Ini sangat membantu ekonomi untuk terus berjalan dan buying power masyarakat tidak terganggu selama kondisi ini terus berjalan walaupun tidak seoptimal seperti sebelum virus Covid-19 merebak,” ungkapnya.