Bisnis.com, JAKARTA - Wacana penggabungan partai Islam seperti digelindingkan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai sulit diwujudkan pada saat ini. Hal yang paling mungkin terjadi adalah koalisi parpol pada momen seperti pilkada atau pilpres.
"Sangat susah, jika tidak mau dikatakan tidak bisa," ujar Fahlesa Munabari, pengamat politik dari Pusat Kajian Komunikasi dan Keindonesiaan, Kamis (12/9/2019).
Fahlesa menguraikan bahwa dalam sejarah politik Indonesia, partai politik bisa bergabung karena adanya tekanan pemerintah. Dalam hal ini, Fahlesa mencontohkan apa yang terjadi di era Orde Baru.
"Saat ini faktor tekanannya apakah masih ada? Kalau faktor tekanan dari pemerintah tidak ada (absen), bagaimana bisa parpol-perpol Islam dilebur?" ujarnya.
"Untuk konteks saat ini di Indonesia, sangat susah terjadi, jika tidak ingin dikatakan mimpi belaka," tambah Fahlesa.
Menurut Fahlesa yang mungkin terjadi adalah ketika momen pilkada atau pilpres, mereka bisa berkoalisi menjagokan kandidat kepala daerah atau capres pilihan mereka. "Berkoalisi itu mungkin, meleburkan diri itu tidak mungkin."
Baca Juga
Dalam pandangan Fahlesa, kultur demokrasi Indonesia saat ini tidak memungkinkan adanya paksaan dari pemerintah untuk memaksa dileburkannya parpol Islam. Selain itu, penggabungan partai Islam dinilai Fahlesa tidak diperlukan untuk saat ini.
"Penggabungan seperti itu kan tidak lagi perlu di sistem demokrasi model Indonesia saat ini. Koalisi-koalisi terjadi di lapangan dan berlangsung sangat cair. Untuk model Pilkada contohnya, betapa cairnya koalisi di lapangan kan, misal antara partai abangan dan partai religius. Koalisi ini yang lebih pragmatis terjadi saat ini," ujar mantan Dekan FISIP Universitas Budi Luhur ini.
Sebelumnya, Partai Bulan Bintang mewacanakan kembali bergabungnya partai yang berideologi Islam dalam satu wadah. Hal itu tersirat dari pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), usai bertemu Wapres Jusuf Kalla, Rabu (11/9/2019).
Yusril menuturkan pihaknya akan menyelenggarakan mukhtamar pada September 2019. Salah satu bahasan yang akan ditetapkan adalah masa depan PBB sebagai partai Islam serta tantangan ambang batas parlemen yang terus meningkat sehingga sulit ditembus partai-partai kecil.
"Mungkin Pemilu yang akan datang parlementary threshold-nya 5 persen, sehingga sangat sulit bagi partai-partai ini untuk bisa bertahan. Karena itu juga ada pikiran di kalangan kami untuk melakukan penggabungan antar partai-partai Islam yang ada," kata Yusril di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Menurut Yusril wacana penggabungan Partai Islam telah lama didiskusikan. Meski begitu, Yusril mengakui dibutuhkan upaya dan format yang paling tepat agar wacana ini dapat direalisasikan.
"Tadi juga kami minta nasihat ke Pak Wapres [Jusuf Kalla] bagaimana ke depan, tapi beliau mengatakan bagus juga kalau kekuatan partai-partai Islam bersatu supaya menjadi kekuatan yang signifikan dalam menghadapi pemilu yang akan datang," kata Yusril.
Definisi Partai Islam
Lebih jauh Fahlesa mempertanyakan definisi partai Islam. "Apa sih definisi partai Islam sekarang ini? Ini akan menjadi lebih dilematis lagi. Apakah PAN partai Islam? Apakah PKB partai Islam? PKS juga enggan disebut partai Islam. Paling juga PBB. PPP mungkin juga mengklaim sebagai partai Islam. Paling itu saja," ujarnya.
Fahlesa tidak membantah saat ditanya kemungkinan wacana Yusril soal penggabungan partai Islam sulit direspons partai lain.
Ditanya kemungkinan kelompok yang selama ini disebut sebagai garis keras bergabung dalam ide Yusril, Fahlesa menyebutkan adanya perbedaan gerakan sosial dengan partai politik.
"Garis keras Islam itu siapa? FPI?FUI? MMI? JAT? JAD? Sudah melemah mereka dan mereka bukan partai politik, mereka adalah gerakan sosial, karakternya berbeda," urai Fahlesa.
Peneliti tentang gerakan Islam di Indonesia ini menyebutkan bahwa mereka yang berada di gerakan sosial cenderung tetap berjalan di jalur gerakan sosial. "Gerakan sosial Islam seperti FPI, FUI, Alumni 212, tidak benar-benar tertarik untuk menjadi parpol," tambahnya.
Disebutkan Fahlesa bahwa HTI dulu sempat mau menjadi parpol pada medio 2000-an. "Tapi enggak jadi karena meski didukung sejumlah ketuanya di Indonesia, dilarang pimpinan pusat internasionalnya."
Selain HTI, ide menjadi parpol menurut Fahlesa juga sempat mencuat di kalangan FPI. "Tapi mayoritas pengurusnya kemudian tidak setuju," ujarnya.
"Sebagian besar mereka masih mempertahankan idealitas mereka untuk tetap teguh di jalur gerakan dan menghindari kooptasi politik dan ekonomi di jalur parpol," tambah Fahlesa.