Kabar24.com, JAKARTA — Para pemohon perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) ramai menyoal hasil rekapitulasi penghitungan suara dalam formulir DAA1.
Di tempat pemungutan suara (TPS), kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) menyalin hasil penghitungan suara dari formulir C1.Plano ke dalam formulir C1. Selanjutnya, C1 dibawa oleh KPPS kepada panitia pemungutan suara (PPS) di tingkat desa atau kelurahan.
PPS lantas menyampaikan C1 tersebut ke panitia pemilihan kecamatan (PPK). Di tingkat kecamatan inilah proses rekapitulasi dimulai.
Hasil C1 seluruh TPS pada satu desa atau kelurahan kemudian dicatatkan dalam sebuah formulir DAA1. Setelah DAA1 dari seluruh desa tersalin, PPK kemudian menggabungkan hasilnya ke dalam sebuah formulir DA1 untuk kemudian diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota.
Proses rekapitulasi lalu berlanjut ke KPU provinsi untuk hasil pemilihan tingkat provinsi dan nasional. Untuk hasil pemilihan tingkat nasional, muara rekapitulasi adalah pada KPU RI di Jakarta.
Taufik Basari, kuasa hukum Partai Nasdem, berpendapat tahapan rekapitulasi terpenting adalah ketika pencatatan hasil C1 ke dalam DAA1. Mengingat pentingnya tahapan itu, rentan pula terjadi penggelembungan atau pengurangan hasil penghitungan suara dengan C1.
“Kalau dari DAA1 ke DA1 kan tinggal salin saja, tinggal total-total dari DAA1,” ujarnya usai sidang pemeriksaan pendahuluan perkara sengketa hasil Pileg 2019 di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Persoalannya, menurut Taufik, pencatatan C1 ke DAA1 itu kerap luput dari perhatian publik karena TPS dalam satu desa biasanya banyak. Selain itu, terdapat jeda beberapa jam bahkan beberapa hari untuk pencatatan DAA1 saat rekapitulasi di kecamatan.
“Jadi yang paling rawan di situ memang. Kalau misalnya perpindahan dari DAA1 ke DA1 gampang memperhatikannya,” tuturnya.
Nasdem termasuk pemohon yang kerap memakai perbedaan antara C1 dengan DAA1 sebagai dalil dalam permohonan sengketa hasil Pileg 2019 di MK. Di Daerah Pemilihan Jawa Timur IV untuk pemilihan anggota DPRD Jawa Timur, Nasdem mengklaim terjadi penggelembungan untuk Partai Kebangkitan Bangsa setelah membandingkan DAA1 dengan C1.
Begitu pula dengan Partai Demokrat di Dapil Jawa Timur III untuk pemilihan anggota DPR. Dalam perkara ini, justru Nasdem yang dituding Demokrat menikmati penggelembungan suara setelah menyandingkan C1 dengan DAA1.
Ali Nurdin, kuasa hukum KPU, menjelaskan perbedaan DAA1 dengan C1 memang dimungkinkan melalui prosedur yang sah. Pasalnya, dalam proses rekapitulasi, PPK berhak mengoreksi C1 setelah mendapatkan masukan dan persetujuan saksi peserta pemilu dan panitia pengawas kecamatan
Di TPS, kata dia, fokus utama kerap kali pada perolehan suara. Padahal, dalam C1 tercantum pula data pemilih, pengguna hak pilih, dan pemakaian surat suara yang seharusnya sinkron dengan perolehan suara.
“Oleh karenanya ketika di PPK waktu dicek salah makanya dikoreksi,” tuturnya ketika dimintai tanggapan di lokasi yang sama.
Ali meyakini bahwa rekapitulasi di kecamatan bisa dipertanggungjawabkan. Pasalnya, proses tersebut berlangsung dalam rapat pleno terbuka.
Meski demikian, dia tidak memungkiri kemungkinan terjadinya perbedaan yang merugikan peserta pemilu seperti didalilkan dalam permohonan sengketa hasil Pileg 2019. Bila terjadi saling klaim, MK biasanya menjadikan formulir C1.Plano sebagai validator.
Formulir C1.Plano adalah formulir yang mencatat hasil penghitungan suara dan ditempel di papan atau dinding TPS. Isi C1.Plano itulah yang kemudian disalin ke dalam C1.
“Kalau C1.Plano itu diragukan, hilang, atau tidak ada, baru masuk ke penghitungan surat suara ulang,” ujar Ali.
Dari Selasa (9/7/2019) hingga Jumat (12/7/2019), MK akan menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara perselisihan hasil Pileg 2019. Para pemohon mendapatkan kesempatan untuk membacakan materi gugatan.
Sebanyak 260 perkara telah diregistrasi oleh MK. Rinciannya, 250 perkara berasal dari partai politik peserta pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta 10 perkara dimohonkan oleh calon anggota DPD.