Kabar24.com, JAKARTA — Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman turut merasa berdosa atas penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 secara serentak yang memakan korban jiwa dari petugas pelaksana lapangan.
Menurutnya, Pemilu serentak 2019 dilaksanakan sebagai amanat dari putusan MK pada 2014. Kala itu, sejumlah elemen masyarakat mengajukan uji materi terhadap UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Kala itu, pasal-pasal yang diuji materi yakni Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112.
MK lantas mengabulkan sejumlah pasal yang diuji materi, khususnya Pasal 112 yang menyebut berbunyi 'Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.'
Dengan dikabulkannya pasal itu, pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden digelar bersama-sama dengan Pemilu Legislatif.
Keputusan MK itu menjadi dasar dari penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 yang melibatkan pemilihan calon anggota legislatif tingkat DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Lalu, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemilihan presiden serta wakil presiden.
Saat mengisi acara peresmian Masjid Al-Mujahiddin Tumpu, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Anwar mengaku pemilu serentak di Tanah Air sebagai pemilu paling rumit di dunia.
“Sebagai Ketua MK, saya juga ikut merasa berdosa,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi MK, Rabu (8/5/2019).
Dia lantas bercerita dari sisi amalan yang diyakininya, bahwa seorang hakim ketika menjatuhkan sebuah putusan, apabila putusannya benar, hakim itu akan mendapatkan dua pahala.
Lantas, jika putusannya salah, hakim tersebut hanya akan mendapat satu pahala.
“Dua pahala itu adalah pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Sementara jika hakim tersebut memutus salah, maka hanya akan terhitung satu pahala, yakni pahala ijtihad.”