Bisnis.com, JAKARTA — Pemilu Serentak 2019 yang disebut sebagai pemilihan umum paling rumit di dunia, telah memakan korban sebanyak 90 orang meninggal dunia dan 374 orang sakit.
Tuntutan evaluasi Pemilu Serentak pun berdatangan dari berbagai kalangan, mulai budayawan seperti Sujiwo Tejo, pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, juga Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para elit politik dari berbagai parpol.
Dari evaluasi para tokoh tersebut, setidaknya muncul dua jenis wacana perubahan Pemilu Serentak yang dominan muncul.
Serentak Tapi Bertahap
Pertama, mengubah pemilu serentak memiliki beberapa tingkatan, yaitu memisahkan pemilu nasional (Presiden-Wakil Presiden bersama DPR RI) dan pemilu regional (Gubernur bersama DPRD Prov, Bupati/Wali Kota bersama DPRD kab/kota).
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tercatat menjadi salah satu pendorong ide ini. Tetapi, Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyebut Pemilu Serentak Bertahap harus didukung dengan penghapusan ambang batas untuk calon eksekutif (Presiden, Gubernur, Wali Kota, Bupati).
Baca Juga
"Ambang batas pencalonan presiden baiknya memang dihilankan saja. Karena itu akan membuat keterbelahan politik lagi, dan membatasi kesempatan masyarakat mendapatkan calon presiden lebih banyak," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (23/4/2019).
Senada dengan ide ini, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie berpendapat Pemilu Serentak Bertahap akan membuat beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tak terlalu berat.
Menurut Jimly, sistem ini lebih ideal sebab calon eksekutif akan lebih beragam, dan calon legislatif serta DPD, akan lebih mudah dikenal sebab lebih fokus mewakili daerahnya.
"Saya sarankan bertingkat karena di setiap provinsi ada pemilihan. Jadi DPD itu dipilih berdasarkan suasana representasi kedaerahan itu terasa. Jangan dikaitkan dengan Pilpres atau DPR Parpol, karena dia nonpartai. Bedasarkan pengalaman 2019 ini, menurut saya DPD itu digabung dengan pemilihan gubernur dan wagub dan DPRD provinsi," jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI pertama ini.
Eksekutif dan Legislatif Terpisah
Wacana kedua, yaitu memisahkan kembali pemilu untuk eksekutif (Presiden, Gubernur, Wali Kota, Bupati) dengan pemilu untuk anggota legislatif (DPR, DPRD Prov, DPRD kabupaten/kota).
Beberapa tokoh yang menghendaki ide memisahkan kembali pemilu eksekutif dan legislatif, menekankan bahwa evaluasi Pemilu Serentak 2019 di mana perhatian masyarakat lebih condong pada Pilpres.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review sekaligus Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin yang mendukung ide ini pun sependapat dengan alasan tersebut.
"Pemilu serentak ini membuat penyelenggara, peserta pemilu, dan masyarakat kaget. Sehingga pemberitaan Pileg tertutup Pilpres. Akhirnya, masyarakat tidak mengenal caleg-caleg di daerahnya. Kampanye yang panjang hampir 8 bulan membuat semuanya kelelahan," ungkapnya kepada Bisnis.
Kendati demikian, Ujang menjelaskan pemisahan kembali pemilihan eksekutif dan legislatif menghendaki threshold atau ambang batas tetap diberlakukan. Tetapi, jangan terlalu besar agar calon pemimpin lebih beragam atau paling tidak lebih dari dua orang.
Sebab, apabila legislatif telah terlebih dahulu terpilih, kemudian kandidat eksekutif yang maju dan menang hanya memiliki dukungan parlemen yang minim, dikhawatirkan pemerintahannya nanti menjadi tak efektif.
"Terkait presidential threshold jangan dihapus. Tetapi angkanya diturunkan. Bisa di angka 10-15 persen. Agar masih banyak tokoh yang muncul. Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan," tambah Ujang.