Bisnis.com, JAKARTA - Kasus warga Rohingya di Myanmar di bawa ke mahkamah hukum internasional oleh Organisasi Kerjasama Islam.
Organisasi Kerjasama Islam atau OIC membuat terobosan diplomatik dengan mengadopsi resolusi untuk menggugat pemerintah Myanmar di Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) mengenai hak hukum warga minoritas Muslim Rohingya.
Resolusi untuk menempuh jalur hukum di ICJ itu dicapai dalam sesi final pertemuan Ke-46 Dewan Menteri Luar Negeri OIC di Abu Dhabi.
“Resolusi ini keluar setelah melewati proses negosiasi yang panjang mengenai pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia besar terhadap warga Rohingya di Myanmar,” begitu pernyataan Kementerian Luar Negeri Bangladesh seperti dilansir Dhaka Tribune, Senin, 4 Maret 2019 waktu setempat.
Pertemuan OIC dalam membahas hal ini diawali dengan pertemuan komite setingkat menteri yang beranggotakan sepuluh negara. Pertemuan itu dipimpin Gambia pada 10 Februari 2019.
Perwakilan Gambia merekomendasikan agar OIC menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan hak hukum berdasarkan hukum internasional terutama Konvensi Genosida atau Genocide Convention dan hukum internasional lainnya mengenai HAM. Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen, memimpin delegasi ke Dewan di OIC ini.
Baca Juga
Resolusi yang dicapai dengan aklamasi ini menjadi preseden bagi OIC untuk menempuh jalur hukum untuk meminta keadilan jika ada kasus kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya seperti yang dialami warga etnis minoritas Muslim Rohingya.
Gugatan itu juga akan memperjuangkan mengenai hak etnis Rohingya untuk tinggal di tanah kelahirannya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Pemerintah Myanmar belum menanggapi resolusi dari OIC Ini.
International Court of Justice atau Pengadilan Internasional merupakan lembaga peradilan yang bernaung di bawah PBB dan berlokasi di The Hague, Belanda. Lembaga ini dibentuk lewat Konferensi San Fransisco pada 1945. Semua anggota PBB merupakan pihak yang ikut mendukung statuta pendirian ICJ, yang mulai bersidang pada 1946.
Lembaga ini terdiri dari 15 orang hakim yang bertugas selama sembilan tahun dan dipilih lewat voting suara pada Sidang Majelis PBB dan Dewan Keamanan PBB. Majelis hakim memilih Presiden dan wakil Presiden ICJ setiap tiga tahun sekali. Ada tim administrasi yang membantu lembaga ini menjalankan kewenangannya.
Meski berbasis di The Hague, Belanda, seperti dilansir Britannica, lembaga ini bisa bersidang di negara manapun yang dianggap sesuai. Bahasa yang digunakan adalah Inggris dan Prancis.
Tugas utama ICJ adalah membuat putusan mengenai sengketa antara negara berdaulat. Ini artinya pihak yang berperkara adalah negara. ICJ bisa membentuk komisi ahli untuk melakukan investigasi terhadap kasus yang sedang ditangani jika diperlukan.
Kasus yang ditangani ICJ bisa ditangani dengan tiga cara yaitu diselesaikan oleh negara yang berperkara tanpa menunggu putusan ICJ. Atau, negara berperkara tidak melanjutkan persidangan dan menarik diri dari prosesnya di tengah proses persidangan. Opsi ketiga, Pengadilan Internasional mengeluarkan putusan.
Beberapa kasus yang ditangani ICJ seperti gugatan pemerintah Iran terhadap AS mengenai aset sebesar sekitar US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun yang disita Washington. Aljazeera melansir hakim memutuskan Iran memilik hak atas aset itu pada putusan yang dibuat pada 14 Februari 2019 setelah gugatan diajukan pada 2016.
Kasus lainnya yang juga ditangani ICJ, seperti dilansir media iOL, adalah soal dekolonisasi Inggris terhadap Mauritius di Afrika. Pengadilan memutuskan Inggris memiliki kewajiban mengembalikan kepulauan Chagos kepada Mauritius secepatnya pada putusan awal Maret 2019. Kasus pelanggaran HAM etnis Rohingya oleh otoritas Myanmar bakal menjadi kasus baru yang ditangani ICJ terkait gugatan OIC.