Kabar24.com, JAKARTA - Panglima militer Myanmar yang memperoleh kecaman internasional terkait dugaan genosida terhadap etnis minoritas Rohingya, membantah pihaknya telah melakukan persekusi sistematis dan menyatakan tuduhan semacam itu adalah penghinaan bagi kehormatan Myanmar.
Dalam wawancara perdananya sejak militer Myanmar melakukan operasi di negara bagian Rakhine pada 2017, Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengungkapkan keraguannya terhadap laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia sangsi 730.000 orang dari etnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dan berkaitan dengan pengakuan bahwa mereka menerima siksaan dari tentara, Min Aung Hlaing mengatakan bahwa pernyataan itu dibuat-buat.
"Kritik tanpa bukti yang jelas hanya merusak martabat bangsa," kata Min Aung Hlaing kepada harian Asahi Shimbun Jepang dalam sebuah wawancara yang ditayangkan pada Jumat (15/2/2019) sebagaimana dilansir Reuters.
Pasukan militer Myanmar melancarkan operasi ke negara bagian Rakhine pada 2017 menyusul sejumlah serangan gerilyawan Rohingya ke pos-pos keamanan di dekat perbatasan Bangladesh.
Misi pencarian fakta independen PBB tahun lalu mengungkapkan bahwa operasi militer itu diwarnai dengan pembunuhan massal dan pemerkosaan. Militer Myanmar disebut sengaja melakukan hal ini dengan intensi genosida. Melalui laporan tersebut, misi pencari fakta mengeluarkan rekomendasi untuk mengadili Min Aung Hlaing beserta lima jenderal lainnya dengan tuduhan "kejahatan kemanusiaan di bawah hukum internasional."
Penyelidik hak asasi manusia bulan lalu mengatakan bahwa Min Aung Hlaing dan yang lainnya harus bertanggung jawab atas genosida terhadap Rohingya. Hal ini perlu direalisasikan sebelum para pengungsi kembali ke Myanmar.
Myanmar secara konsisten membantah tuduhan yang dilayangkan terhadap militernya, meski Min Aung Hlaing sempat mengakui kemungkinan "sejumlah petugas keamanan terlibat".
Etnis Rohingya telah menghadapi berbagai perlakuan diskriminatif di Myanmar selama bertahun-tahun. Mereka umumnya dianggap sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan dan hanya beberapa dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Myanmar.
Kebanyakan dari mereka yang tak mendapat pengakuan di Myanmar memilih untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara Asia lain. Sementara yang memilih bertahan harus menghadapi beragam tindakan represif militer dalam beberapa dekade sampai akhirnya memilih melarikan diri ke Bangladesh sebagai pengungsi.
Pada September 2018, Dewan Hak Asasi Manusia PBB sepakat untuk membentuk "mekanisme independen berkelanjutan" yang memungkinkan pengumpulan, konsolidasi, dan penjagaan bukti kejahatan dapat digunakan dalam pengadilan untuk Myanmar.
Menanggapi pembentukan mekanisme tersebut, Myanmar menyatakan penolakan dan menegaskan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tak memiliki yuridksi untuk memutuskan tindakan dalam negeri Myanmar mengingat negara tersebut tak menandatangani Statuta Roma yang mengharuskan mereka tunduk pada pengadilan internasional di Den Haag.
"Kami tak akan menerima instruksi apa pun yang mengancam kedaulatan Myanmar," kata Jenderal Min Aung Hlaing, kembali menegaskan posisi Myanmar.