Bisnis.com, JAKARTA -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo disomasi karena anak buahnya tidak membacakan tuntutan kepada seorang terdakwa perkara tindak pidana narkotika.
Perkara No. 744/Pid.Sus/2018/PN .Jkt Utr dengan terdakwa Sadikin Arifin itu teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kendati pemeriksaan terdakwa telah selesai, jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakut masih menunda pembacaan tuntutan.
"Kami mensomasi Jaksa Agung pada 19 November karena JPU belum membacakan tuntutan ke klien kami," kata Ma'ruf, kuasa hukum Sadikin, dalam sidang uji materi UU Telekomunikasi di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Surat somasi itu menjadi salah satu alat bukti yang diserahkan Ma'ruf untuk perkara permohonan uji materi UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Sadikin berperkara di MK bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidananya di PN Jakut.
JPU seharusnya membacakan tuntutan pada 18 Oktober, tetapi sampai saat ini masih ditunda. Perkara tersebut dilimpahkan JPU ke PN Jakut pada 10 Juli 2018.
Sadikin didakwa JPU terlibat dalam jaringan peredaran narkoba bersama warga negara asing (WNA) dan dijerat dengan ancaman maksimal pidana mati. Dia ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional, sementara WNA tersebut ditembak mati.
Baca Juga
Di persidangan, terdakwa membantah terlibat dalam jaringan WNA karena hubungannya dengan orang asing tersebut hanya sebagai penerjemah.
Namun, bantahan itu belum terklarifikasi karena sang WNA telah tiada. Menurut Sadikin, satu-satunya bukti untuk memperkuat sangkalannya adalah rekaman komunikasi antara dirinya dengan almarhum.
MINTA REKAMAN
Sayangnya, rekaman tersebut tidak dihadirkan oleh JPU. Padahal, berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi, JPU atas nama Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk meminta rekaman ke operator telekomunikasi.
Oleh karena itu, Sadikin menggugat Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi ke MK. Dia memohon agar tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk meminta rekaman seperti halnya Jaksa Agung, Kepala Polri, dan penyidik institusi lainnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengingatkan bahwa rekaman telepon tidak bisa diberikan sembarangan guna melindungi kerahasiaan konsumen. Pengecualikan hanya diberikan kepada aparat dalam rangka proses peradilan pidana.
Palguna juga belum melihat secara jelas kerugian konstitusional dari pemohon. Apalagi, menurut dia, ketidakinginan JPU meminta rekaman justru menguntungkan terdakwa karena mengurangi alat bukti.
"Tapi kami berikan kepada pemohon waktu 14 hari untuk perbaikan permohonan," ujarnya.