Bisnis.com, JAKARTA – Calon presiden Prabowo Subianto mengkritisi rusaknya sistem demokrasi Indonesia yang terlihat akhir-akhir ini.
Dia mencontohkan ada orang yang menggunakan hak kebebasan untuk berekspresi di media sosial untuk memaparkan sebuah kebenaran justru diburu, dirundung, dan dihukum.
“Sangat menyedihkan juga bahwa perkembangan Indonesia menuju demokrasi mengalami bentuk pengerdilan. Ini adalah sebuah pelanggaran yang mencolok dan menyedihkan dalam hak-hak dasar warga negara,” papar Prabowo saat menjadi pembicara pada Indonesia Economic Forum (IEF) di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Lebih parahnya, lanjutnya, beberapa ulama tidak diberikan izin untuk memberikan ceramah karena dianggap sebagai ekstremis.
Namun, Prabowo menyatakan yang paling menyakitkan adalah saat dirinya difitnah dan dituduh sebagai orang yang mendukung gerakan ISIS dan akan membentuk pemerintahan khilafah yang keluar dari nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945.
“Jenis tuduhan seperti ini betul-betul bertentangan dengan kenyataan yang ada. Saya memimpin partai yang multiras. Sumpah partai saya adalah untuk membela Pancasila, semua ras, dan semua agama. Oleh karena itu, saya sangat khawatir,” tambahnya.
Calon presiden (capres) yang berpasangan dengan Sandiaga Uno itu menuturkan bahwa ada fenomena yang sangat merusak sistem demokrasi dalam sistem Pemilu di Indonesia, yaitu keberadaan data pemilih tambahan sebanyak 31 juta jiwa dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Data tersebut diklaim tidak dapat dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurutnya, 1 juta nama yang tidak terhitung saja sebetulnya merupakan pelanggaran. Hal itu pun dipandang sebagai penghinaan terhadap demokrasi yang nyata.
“Saya hanya mengingatkan semuanya bisa menjalankan roda demokrasi yang baik. Mari kita saling menghargai dan bermain sesuai aturan,” tegas Prabowo.