Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) memberikan empat sikap akademik dalam permasalahan hak angket KPK yang digulirkan di DPR RI saat ini.
"Pertama, hak angket tidak sah karena bukanlah kewenangan DPR untuk menyelidiki proses hukum di KPK karena hal tersebut merupakan wewenang peradilan," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Kedua, kata Mahfud, Panitia Khusus Hak Angket dibentuk melalui prosedur yang menyalahi aturan perundang-undangan sehingga pembentukannya ilegal.
"Ketiga, DPR harus bertindak sesuai ketentuan perundang-undangan dan aspek-aspek ketatanegaraan yang telah ditentukan menurut UUD 1945. Tindakan di luar ketentuan hukum yang dilakukan DPR hanya akan berdampak pada kerusakan ketatanegaraan dan hukum," ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Menurutnya, apabila itu terjadi maka akan menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat terutama dalam upaya pemberantasan korupsi.
- Golkar Jamin Pansus Hak Angket Tak Bubarkan KPK
- Pansus Hak Angket KPK: Kenapa Gerindra Mau Mundur?
- PANSUS HAK ANGKET : Tak Ingin KPK Melemah
"Keempat, APHTN-HAN dan PUSaKO mengimbau agar KPK tidak mengikuti kehendak panitia angket yang pembentukannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," tuturnya.
Baca Juga
Ia menilai akibat pembentukan panitia angket yang bertentangan dengan undang-undang, maka segala tindakan panitia angket dengan sendirinya bertentangan dengan undang-undang dan hukum.
- Singgung Pansus Hak Angket KPK, Apa Komentar Jusuf Kalla?
- FADLI ZON Sebut DPR Berhak Awasi KPK. Ini Alasannya
"Mematuhi tindakan panitia angket merupakan bagian dari pelanggaran hukum itu sendiri. KPK harus taat kepada konstitusi dan undang-undang, bukan terhadap panitia angket yang pembentukannya menyalahi prosedur hukum yang telah ditentukan," ucap Mahfud.
Dalam konferensi pers itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.