Kabar24.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembentukan Panitia Khusus Hak Angket terhadap KPK tak bisa dilepaskan dari kepentingan partai politik yang kadernya tersangkut dalam dugaan korupsi proyek KTP-El.
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-El) tak sedikit yang melibatkan nama-nama yang saat ini masuk dalam keanggotaan Pansus Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Terdapat partai dan nama-nama anggota panitia yang mempunya konflik kepentingan dengan KPK. Ada dua partai dan empat panitia angket yang namanya disebut dalam kasus korupsi KTP elektronik. Selain itu mayoritas panitia ada pihak yang selama ini merupakan pengusul revisi UU KPK,” ujarnya.
Seperti diketahui, Partai Golkar dan PDI Perjuangan merupakan dua di antara tujuh fraksi yang mendukung panitia angket. PDIP mengirimkan enam perwakilan dan Golkar mengirimkan lima nama.
Dua partai ini secara jelas disebut dalam dakwaan menerima aliran dana korupsi proyek KTP elektronik.
“Sulit memisahkan penggunaan hak angket DPR dengan kasus KTP elektronik yang tengah ditangani sebab dalam kasus ini khususnya kesaksian Miryam Haryani merupakan latar belakang diusulkannya hak angket oleh Komisi III DPR,” paparnya.
Baca Juga
Secara individu, paparnya, terdapat anggota panitia hak angket yang memiliki konflik kepentingan dengan KPK.
Salah satunya adalah Agun Gunandjar dari Partai Golkar yang kemudian menjadi KetuaPansus Hak Angket. Pasalnya, dia disebut oleh Muhammad Nazarudin, menerima aliran dana korupsi KTP elektronik dan sudah diperiksa pula oleh KPK.
Tidak hanya itu, ada juga nama lain yang mempunyai kepentingan karena disebut dalamn kasus korupsi tersebut. Mereka adalah Masinton Pasaribu, Bambang Soesatyo, dan Desmon J. Mahesa yang disebut oleh Novel Baswedan, berperan dalam menekan Miryam S. Haryani agar tidak mengakui pembagian uang KTP elektronik.
Karena itu, melihat konfilik kepentingan panitia angket baik secara kelembagaan partai maupun individu, patut dicurigai penyelidikan DPR terhadap KPK melalui penggunaan hak angket lebih ditujukan untuk mengintervensi penanganan kasus KTP elektronik dan upaya pelemahan KPK akibat ditundanya upaya DPR untuk merevisi UU KPK.
Sebelumnya, peneliti Indonesia Budjet Center (IBC) Roy Salam mengungkapkan sesuai dengan Undang-undang (UU) No.17/2003 tentang Keuangan Negara, penggunaan anggaran negara sebesar Rp3,1 miliar untuk Pansus Hak Angket harus berlandaskan prinsip ketaatan pada aturan yang berlaku.
“Padahal kita ketahui bersama, pembentukan pansus melalui usulan hak angket itu prosesnya cacat hukum,” ujarnya, Minggu (11/6/2017).