Kabar24.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani revisi kebijakan imigrasinya yang berisi larangan terhadap enam negara berpenduduk mayoritas muslim untuk masuk AS dan sekaligus mengeluarkan Irak dari daftar larangan.
Menurut seorang pejabat senior Gedung Putih, seperti dilansir Reuters (6/3), alasan dikeluarkannya Irak dari daftar larangan karena pemerintah Irak telah menerapkan prosedur pemeriksaan baru, seperti meningkatkan pemeriksaan visa.
Irak juga dinilai penting atas kerjasamanya dengan AS dalam melawan militan ISIS.
Perintah terbaru Trump yang mulai berlaku pada 16 Maret tersebut tetap menerapkan larangan perjalanan ke AS selama 90 hari oleh warga negara Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Meski demikian, larangan itu diberlakukan hanya pada pemohon visa baru. Artinya, sekitar 60.000 orang yang visanya dicabut berdasarkan kebijakan imigrasi sebelumnya sekarang diizinkan untuk masuk AS.
“Di saat ancaman terhadap keamanan kita terus berkembang dan berubah, kita terus mengevaluasi dan menilai kembali sistem yang kita andalkan untuk melindungi negara kita,” kata Menteri Luar Negeri Rex Tillerson setelah Trump menandatangani perintah baru tersebut.
Sejumlah advokat imigrasi menilai bahwa revisi kebijakan tersebut tetap mendiskriminasi umat muslim serta gagal menghilangkan kecemasan yang timbul dari kebijakan sebelumnya.
Namun para ahli hukum mengungkapkan bahwa kebijakan baru itu akan lebih sulit ditentang karena mempengaruhi lebih sedikit orang yang tinggal di AS.
Trump, yang sebelumnya mengajukan larangan perjalanan sementara bagi warga muslim dari tujuh negara termasuk Irak, telah menegaskan bahwa perintah eksekutif untuk larangan tersebut dimaksudkan sebagai upaya keamanan nasional demi mencegah serangan oleh militan.
Kebijakannya itu telah memicu kekacauan dan protes di sejumlah bandara, dengan ditahannya pemegang visa yang kemudian dideportasi kembali ke negara asal mereka.
Langkah itu juga telah menimbulkan kecaman dari negara-negara yang ditargetkan, sekutu Barat, dan sejumlah perusahaan terkemuka Amerika hingga akhirnya diputuskan oleh pengadilan AS untuk ditangguhkan pada 3 Februari.