Kabar24.com, JAKARTA – Dua perkara korupsi yang menjerat hakim konstitusi dalam kurun waktu empat tahun terakhir tidak bisa dianggap sepele.
Setara Institute menilai kewenangan absolut yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi satu faktor lembaga tersebut rawan terjadi tindak pidana korupsi.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menjelaskan kewenangan absolut yang dimaksud adalah MK saat ini bukan hanya berperan sebagai negative legislator atau peran MK untuk memutuskan produk legislasi konsitusional atau inskonstitusional.
Namun, MK saat ini telah memperluas kewenangannya sendiri dengan menjadi pembuat norma baru dan memutus perkara melampaui apa yang diajukan oleh pemohon.
"Setara Institute mengusulkan praktik perluasan kewenangan ini diakhiri dan segera dibatasi dalam UUD 1945 dan atau revisi UU MK,” kata Ismail di Kantor Setara Institute, Jakarta, Jumat (27/1/2017).
Kewenangan sejati MK sebagai negative legislator, kata Ismail, sebenarnya merupakan pembatasan kewenangan MK. Pembatasan yang diatur dalam UUD 1945 ini merupakan unsur check and balances terhadap MK.
Dengan tidak dijalankan peran sebagai negative legislator, Setara mencatat saat ini MK adalah satu-satunya lembaga yang tidak memiliki kontrol dalam menjalankan kewenangannya.
Padahal sesuai UUD 1945 peran MK terhadap demokrasi di Indonesia cukup vital. MK diberikan kewenangan untuk pengujian UU terhadap UUD, memutus sengketa antara lembaga negara, membubarkan partai politik, menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, dan memberikan pendapat mengenai pemakzulan presiden yang diusulkan oleh DPR.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan seperti itu, cukup berbahaya bila tidak ada mekanisme check and balances yang membatasi kewenangan absolut.