Bisnis.com, PEKANBARU—Direktoral Jendral Pajak (DJP) mengakui bahwa tanpa peranan whistle blower, institusi itu kesulitan untuk menindaklanjuti kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
Hal itu diungkapkan oleh Pontas Pane, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Riau dan Kepri dalam kaitannya dengan kasus penggelapan pajak Asian Agri, Senin (23/12/2013).
Sebelum dirotasi menjadi Kepala Kanwil DJP Riau dan Kepri, ketika masih di Jakarta Pontas Pane ikut andil dalam pengusutan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri.
“Tanpa whistle blower, kami di pajak tidak akan bisa berbuat apa-apa. Sayangnya di Indonesia, perlindungan terhadap whistle blower belum begitu bagus,” ujarnya di sela-sela acara diskusi menelisik kejahatan korporasi sektor sumber daya alam di bumi lancang kuning, Senin (23/12/2013).
Seperti diketahui, mantan financial controller Asian Agri yakni Vincentius Amin Sutanto adalah whistle blower yang membongkar praktek manipulasi pajak Asian Agri yang nilainya mencapai Rp1,3 triliun (2002-2005).
Vincent sudah bekerja di Asian Agri selama 9 tahun. Vincent-lah yang melaporkan kasus manipulasi pajak Asian Agri itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam penelusuran lebih lanjut, dari dokumen-dokumen yang berhasil disita ternyata jumlahnya mencapai 1.400 boks yang ditempatkan dalam 9 truk. Pada ketika itu, Pontas Pane ikut terlibat menelisik dokumen-dokumen tersebut.
“Kami menelisik dokumen-dokumen yang ada di Duta Merlin [lokasi dokumen-dokumen tersebut] dan itu penuh tantangan. Kami menelisik dari 1.000 sekian dokumen itu, bukti-bukti apa saja yang bisa menguatkan,” ujarnya.
Pontas Pane mengakui memang tantangan agar suatu kasus dugaan pajak bisa diangkat ke meja pengadilan itu sangat panjang.
Sementara itu Metta Dharmasaputra, penulis buku Saksi Kunci yang menceritakan kisah Vincent ini mengatakan awalnya Vincent terlibat pembobolan uang perusahaan senilai US$3,1 juta atau sekitar Rp28 miliar.
Namun, Vincent ingin balas dendam kepada Sukanto Tanoto (founder Royal Golden Eagle yang membawahi Asian Agri) karena Vincent yang seharusnya dihukum 4 tahun, namun kenyataannya dia dituduh melakukan money laundring sehingga hukumannya jadi 11 tahun.
“Sekarang Vincent sudah bebas bersyarat setelah menjalani hukuman 7 tahun. Dia sekarang ada di Jakarta, di bawah lindungan LPSK. Meski dia kini sudah bebas, justru di luar sana lebih berbahaya dibandingkan saat dia berada di dalam tahanan,” ujar Metta.
Mantan wartawan Tempo ini mengatakan perlindungan whistle blower di Indonesia memang masih sangat lemah. Terbukti hanya ada satu pasal soal whistle blower yang ada dalam UU Perlindungan Saksi.
Adapun pada 18 Desember 2013, genap setahun majelis hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis terhadap Asian Agri. MA menghukum Asian Agri membayar dua kali pajak terutang Rp1,259 triliun sehingga totalnya menjadi Rp2,5 triliun.
Pada 11 Juni 2013, Ditjen Pajak mengirim 108 surat ketetapan pajak (SKP) kepada 14 perusahaan Asian Agri senilai Rp1,9 triliun, sehingga total yang harus dibayar Asian Agri mencapai Rp4,4 triliun.