Bisnis.com, NUSA DUA - Ketahanan energi Indonesia masih lemah di tengah pembicaraan mengenai daya tahan Asia Pasifik dalam forum APEC 2013.
Otokritik itu disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar saat meresmikan peluncuran transportasi resmi APEC CEO Summit 2013 ‘Go Green’.
Sebanyak 100 bus dioperasikan menggunakan biodiesel kelapa sawit 10% untuk mengantar jemput peserta APEC.
Mahendra menuturkan Indonesia mengidap 3 L, yakni lemah karena ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit.
Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang tinggi, ketahanan fiskal Indonesia digerogoti. Ketiga, lemah akibat ketergantungan pasar sawit pada pasar internasional.
“Di satu pihak kita bicara soal resilience ekonomi di lingkup APEC, tapi ironisnya, kebijakan energi kita tidak resilient,” katanya di sela acara peluncuran, Jumat (4/10/2013).
Mahendra yang dilantik Rabu (2/10/2013) sebagai Kepala BKPM menggantikan M. Chatib Basri, mengapresiasi kekompakan pemerintah menerapkan mandatori penggunaan biodiesel 10% ke dalam solar karena dapat mengurangi 3 kelemahan tadi.
Penggunaan biodiesel akan mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan impor solar yang selanjutnya mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan. Ketahanan fiskal pun lebih terjaga karena belanja subsidi BBM berkurang.
Kadar campuran biodiesel yang lebih tinggi ke dalam solar juga mampu mengurangi ketergantungan CPO ke pasar internasional karena semakin besar kebutuhan di dalam negeri.
Bergantung Subsidi
Namun, dia mengingatkan agar produsen biodiesel tidak bergantung pada subsidi bahan bakar nabati (BBN) di tengah kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi untuk menekan anggaran belanja subsidi.
Biodiesel saat ini memperoleh subsidi Rp3.000 per liter, sedangkan bioetanol Rp3.500 per liter. Bersamaan dengan itu, pemerintah pada 22 Juni menaikkan harga solar Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter dan premium Rp2.000 menjadi Rp6.500 per liter.
“Kalau masih meminta subsidi yang tinggi, sama saja keluar dari mulut buaya, jatuh ke mulut singa,” katanya.
Sebagai gambaran, jika 30% saja dari produksi CPO 30 juta ton tahun ini digunakan untuk campuran 10%, maka sudah ada 10 juta ton yang diserap pasar domestik.
Dengan demikian, posisi tawar Indonesia lebih tinggi karena dapat mengendalikan suplai dan diyakini berpengaruh positif terhadap perjuangan Indonesia memasukkan CPO ke dalam daftar produk ramah lingkungan (environmental good list/EG list).
“Sambil negosiasi, kita perkuat based market kita,” ujar Mahendra.
Dia menuturkan jika penggunaan biodiesel diikuti dengan kapasitas produksi yang lebih baik, jaringan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang lebih siap, maka tinggal menunggu waktu kadar campuran ditingkatkan menjadi 20%.
Sementara itu, PLN juga siap menggunakan solar dengan campuran biodiesel 60% (B60). “Bahkan PLN juga sudah berkolaborasi dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) untuk mengkaji penggunaan 90% biodiesel,” ujar mantan Wakil Menteri Keuangan itu.