Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan masyarakat masih menyimpan rasa kehilangan terhadap sosok cendekiawan muslim Cak Nur yang wafat pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang diderita.
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, memiliki pengalaman intelektual yang tak bisa dilupakan saat bersama Cak Nur, terlebih dirinya merasa banyak mendapatkan ilmu secara langsung dari cendekiawan berkaca mata tersebut.
Dia memaparkan saat pertamakali mengenal Cak Nur sejak dirinya masih pesantren sampai masuk ke UIN Ciputat. Kemudian ketika melanjutkan kuliah di Turki, Komarudin merasa seolah tidak mendapatkan apa-apa selain hanya mendapatkan gelar S3 saja.
“Justru saya merasa mendapatkan ilmu setelah kembali ke Indonesia dan banyak terlibat dengan Cak Nur," paparnya dalam acara Sewindu Haul Cak Nur dan Launching 4 Buku Caknur di Gedung RNI, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/8/2013) malam.
Nurcholis Madjid, alias Cak Nur merupakan seorang pemikir dan pembaharu Islam. Gagasanya Islam Yes, Partai Islam No serta isu sekularisme menjadi polemik pemikiran di berbagai kalangan intelektual Tanah Air.
Pemikiran Cak Nur lain yang dikenal luas yaitu konsentrasinya terhadap isu-isu kesetaraan gender, hak asasi manusia dan keberagaman agama. Cak Nur menempuh pendidikan dari pesantren hingga menamatkan doktornya di bidang filsafat dan kalam di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur itu juga sempat menjadi rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah.
Komaruddin Hidayat menambahkan, sosok Cak Nur sangat puritan dan anti terhadap dukungan dari pihak barat. Dia memberi contoh, beberapa kali 'orang luar' ingin membantu secara keuangan untuk Universitas Paramadina, tetapi Cak Nur menolak bantuan tersebut dengan tegas.
"Banyak yang datang mau memberikan dana miliaran rupiah untuk membesarkan Paramadina, tapi beliau tolak. Beliau sangat anti memberikan rekening kepada orang-orang barat," ujar Komarudin.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menjelaskan sosok Cak Nur sangat berpengaruh terutama dari segi pemikiran yang membela hak-hak asasi manusia.
Cak Nur, lanjutnya merupakan sosok seorang militan yang memperjuangkan kebebasan manusia secara radikal demi terciptanya perdamaian antar agama.
"Saya melihat keteguhan hati Cak Nur meski suaranya terkesan sendirian. Beliau tidak punya garda depan dibandingkan seperti tokoh lainnya yang notabene memiliki pasukan. Tetapi Cak Nur memperjuangkan hak-hak asasi itu tanpa kenal lelah," ujarnya.
Dia ingin meluruskan pemikiran anti sekularisme yang banyak ditentang oleh sebagian kalangan intelektual. Cak Nur, paparnya justru menghendaki pemikiran Islam secara modern bukan western atau kebarat-baratan. Banyak orang yang salah kaprah terhadap pemikiran Cak Nur.
"Apa yang selama ini kami capai dalam pelaksanaan HAM di negara Islam salah satunya hasil pemikiran dan gagasan dari Cak Nur," ujarnya.
Nadia Madjid, putri dari Cak Nur berharap apa pun yang dihadirkan Cak Nur baik pemikiran maupun gagasan bisa memberi inspirasi untuk keluarga dan masyarakat banyak. Dia ingin karya-karya Cak Nur meluruskan jalan bangsa dengan niat suci dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Pengalaman Nadia saat masih bersama Cak Nur masih melekat dengan sosok kesederhanaannya. Cak Nur tidak pernah menyinggung soal keinginannya menjadi seorang pejabat atau ingin menduduki tahta di pemerintahan.
“Saya belum mendengar bahwa papa [Cak Nur] ingin meraih posisi atau jabatan. Yang menjadi pembahasan di meja makan justru beliau selalu menanyakan ‘apa yang dipelajari kamu hari ini’?” ujarnya.