Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat pendidikan Ina Liem menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban pemeintah menjamin pendidikan dasar dan menengah gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta lebih bernuansa politis daripada menjadi solusi realistis.
Menurut dia, sebenarnya dua masalah mendasar dalam sektor pendidikan di Indonesia saat ini adalah keterbatasan anggaran dan ketiadaan strategi pembangunan sekolah negeri yang terarah dan terukur.
Ina berpandangan sebenarnya putusan MK ini lahir dari masalah klasik, yakni daya tampung sekolah negeri yang terbatas.
“Misalnya saja Pemkot Tangerang, sejak 2023 sudah menggratiskan 146 SD dan SMP swasta. Namun dalam hitungan bulan, beberapa sekolah kembali mengenakan iuran, uang pangkal, dan biaya lainnya,” terangnya kepada Bisnis, Senin (2/6/2025).
Dia melanjutkan, belum lagi Pemkot Tangerang sebelumnya justru menyatakan tidak akan menambah sekolah negeri demi menjaga agar sekolah swasta tidak kekurangan murid. Menurutnya, ini logika yang patut dipertanyakan.
“Karena itu, putusan MK ini perlu kita kritisi secara tajam. Jangan sampai ini hanya menjadi legitimasi untuk membiarkan sekolah negeri tetap langka, agar kursi sekolah jadi rebutan, dan praktik jual beli kursi terus berlangsung di balik narasi ‘kehadiran negara’,” tegasnya.
Baca Juga
CEO Jurusanku ini juga khawatir akan keberlanjutan dari putusan MK tersebut dan rawannya konflik kepentingan. Misalnya, sekolah swasta yang terpilih dapat suntikan dana adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan.
“Selain itu, takutnya juga melanggengkan masalah lama dengan suntikan anggaran yang makin besar. Kebocoran anggaran dana BOS, PIP, jual beli kursi adalah masalah lama yang belum diselesaikan. Ini malah semacam proposal untuk menambah anggaran,” tutur Ina.
Oleh karena itu, Ina menyarankan pemerintah seharusnya membenahi dua akar masalah yang dia sebutkan tadi. Bukannya malah bagi-bagi anggaran akibat adanya putusan MK tersebut.
Dia menyebut saran pertama adalah petakan kebutuhan secara presisi, berapa sekolah negeri yang dibutuhkan, di mana lokasinya, dan berapa daya tampung yang ideal.
Kedua, bangun sistem penerimaan siswa yang transparan dan adil, agar tidak ada ruang untuk jual beli kursi. Ketiga, pastikan pengawasan dan evaluasi berbasis data, bukan sekadar laporan administratif.
“Selain itu, pemerintah harus berani mengambil sikap tegas terhadap praktik koruptif di sektor pendidikan. Jangan sampai bantuan dana, baik untuk negeri maupun swasta, justru memperkuat elite-elite yang bermain anggaran. Pendidikan itu fondasi negara, kalau fondasinya bolong, negara rapuh,” pungkas Ina.