Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sepak Terjang Elite Hamas Ismail Haniyeh Sebelum Tewas Dibunuh di Iran

Hamas menyatakan bahwa pemimpinnya Ismail Haniyeh telah tewas terbunuh di Teheran, Iran, pada Rabu (31/7/2024).
Bayi baru lahir ditempatkan di tempat tidur setelah dikeluarkan dari inkubator di Rumah Sakit Al Shifa Gaza setelah listrik padam, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Kota Gaza, Gaza 12 November 2023 dalam gambar diam yang diperoleh REUTERS.
Bayi baru lahir ditempatkan di tempat tidur setelah dikeluarkan dari inkubator di Rumah Sakit Al Shifa Gaza setelah listrik padam, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Kota Gaza, Gaza 12 November 2023 dalam gambar diam yang diperoleh REUTERS.

Bisnis.com, JAKARTA - Hamas menyatakan bahwa pemimpinnya Ismail Haniyeh telah tewas terbunuh di Teheran, Iran, pada Rabu (31/7/2024). 

Haniyeh dilaporkan terbunuh dalam serangan Zionis Israel di kediamannya di Teheran, saat dia menghadiri upacara pelantikan Presiden Baru Iran pada Selasa (30/7/2024). 

Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran menyampaikan kabar duka tersebut dalam sebuah pernyataan.

"Serangan itu dilakukan Rabu pagi," kata Departemen Hubungan Masyarakat IRGC, dilansir Reuters, pada Rabu (31/7/2024). 

Lantas, siapa sebenarnya Ismail Haniyeh? 

Haniyeh lahir di kamp pengungsi Shati di Gaza dari orang tua yang melarikan diri dari Kota Asqalan setelah negara Israel didirikan pada tahun 1948.

Dia belajar di Institut al-Azhar di Gaza dan lulus dengan gelar sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza. Saat kuliah pada tahun 1983, Haniyeh bergabung dengan Blok Mahasiswa Islam, cikal bakal Hamas.

Adapun di tahun kelulusannya, 1987, menandai dimulainya pemberontakan massal Palestina pertama melawan pendudukan Israel, yang dikenal sebagai Intifada Pertama, dan kemudian berdirinya Hamas sebagai kelompok resmi.

Otoritas Israel memenjarakan Haniyeh selama 18 hari saat dia ikut serta dalam protes terhadap pendudukan. 

Setahun kemudian, pada tahun 1988, dia dipenjara lagi selama 6 bulan dan menghabiskan 3 tahun lagi di penjara pada tahun 1989 atas tuduhan bahwa dia adalah anggota Hamas, saat Intifada berlangsung.

Dilansir dari sejumlah sumber, setelah dibebaskan, Israel mendeportasi Haniyeh ke Lebanon Selatan bersama dengan para pemimpin senior Hamas lainnya, di mana dia menghabiskan waktu selama setahun. 

Setelah penandatanganan perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina, dia kembali ke Gaza.

Haniyeh naik pangkat dalam gerakan tersebut sebagai pembantu dekat dan asisten salah satu pendiri Hamas, mendiang Sheikh Ahmed Yassin, pada tahun 1997.

Ketika Intifada Kedua meletus pada 2001, Haniyeh mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pemimpin politik Hamas, peringkat ketiga setelah Yassin dan Abdul Aziz al-Rantisi.

Haniyeh dan Yassin selamat dari kematian pada 2003, dalam upaya pembunuhan Israel yang gagal dalam bentuk serangan udara di sebuah blok apartemen di pusat kota Gaza tempat kedua pria itu bertemu. 

Beberapa bulan kemudian, Yassin yang lumpuh, menjadi sasaran dan dibunuh oleh helikopter Israel saat dia meninggalkan masjid setelah salat subuh.

Haniyeh menjadi terkenal pada 2006 ketika dia memimpin Hamas, meraih kemenangan pemilihan legislatif atas gerakan Fatah, yang telah berkuasa selama lebih dari satu dekade.

Meskipun dia menjabat sebagai perdana menteri Otoritas Palestina (PA) untuk waktu yang singkat, penolakan masyarakat internasional untuk bekerja sama dengan Hamas, dan kebuntuan serta kekerasan antara kedua pihak akhirnya menyebabkan pembubaran pemerintah persatuan pada 2007, setelah Hamas menguasai Jalur Gaza.

Haniyeh diberhentikan sebagai perdana menteri oleh presiden PA, Mahmoud Abbas, tetapi dia tetap menjadi pemimpin de facto gerakan di Jalur Gaza.

Adapun di beberapa kesempatan, Haniyeh mengatakan bahwa ia akan menerima negara Palestina berdasarkan batas-batas tahun 1967, dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. 

Dia juga mengatakan bahwa pemerintah Hamas bersedia bekerja sama dengan pemerintah Barat yang berjanji untuk mendukung hak-hak warga Palestina. 

Selama perang Israel di Gaza, dua keponakan Haniyeh terbunuh dan beberapa bagian rumahnya hancur akibat penembakan Israel, pada 2014.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Erta Darwati
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper