Bisnis.com, JAKARTA – PTPN I Regional 4 buka suara usai mantan petinggi bekas PTPN XI (sebelum merger) terjerat kasus dugaan korupsi jual beli lahan budidaya tebu di Pasuruan.
Dua dari tiga orang tersangka yang kini ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Direktur PTPN XI 2016 Mochamad Cholidi (MC) dan Kepala Divisi Umum, Hukum dan Aset PTPN XI 2016 Mochamad Khoiri (MK). Satu tersangka swasta lainnya yaitu Komisaris Utama PT Kejayan Mas Muhchin Karli (MHK).
Atas kasus tersebut, pihak manajemen PTPN I Regional 4 menyatakan bakal menghormati dan mendukung proses hukum yang tengah berlangsung.
"Kami menghormati proses hukum yang sedang dihadapi oleh pejabat eks PTPN XI. Kami juga akan kooperatif, bekerja sama, dan memberikan informasi yang dibutuhkan dalam membantu penegak hukum agar kasus ini dapat terungkap serta terpenuhi aspek keadilannya," ujar Sekretaris Perusahaan Yunianta melalui siaran pers, dikutip Selasa (14/5/2024).
Sikap Subholding PTPN, terang Yunianta, sesuai dengan semangat bersih-bersih perusahaan pelat merah yang digalakkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Oleh karena itu, semua SOP perusahaan wajib mengacu pada Good Corporate Governance (GCG).
“Manajemen PTPN I Regional 4 selalu berkomitmen dan memastikan setiap proses pengadaan dan operasional perusahaan berjalan sesuai dengan GCG,” tuturnya.
Baca Juga
Untuk diketahui, pascaaksi korporasi di lingkungan PTPN Group, bekas PTPN X dan PTPN XI saat ini telah merger di bawah Sub Holding Supporting Co (PTPN I) khususnya di Regional 4.
Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, Senin (13/5/2024), tiga orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK yakni MC, MK dan MHk resmi ditahan untuk 20 hari ke depan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp30,2 miliar. Kasus itu bermula dari penawaran lahan seluas 79,5 hektare dari Direktur dari PT Kejayan Mas ke Direktur PTPN XI pada 2016.
Lahan yang terletak di Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan itu ditawar dengan harga Rp125.000 per meter persegi (m2). Penawaran itu disetujui oleh MC selaku Direktur PTPN XI saat itu, dengan memerintahkan MK untuk menyusun draft SK tim pembelian tanah untuk tanaman tebu sendiri PTPN XI.
KPK menduga MC memerintahkan MK untuk langsung mengajukan anggaran Rp150 miliar, tanpa kajian mendalam soal kelayakan kondisi lahan. Harga lahan yang ditawat Rp120.000 per m2 itu langsung disepakati, kendati Kepala Desa setempat menerangkan nilai pasar lahan hanya Rp35.000 sampai dengan Rp50.000 per m2.
Setelah itu, MC dan MK diduga memerintahkan adanya pembuatan dokumen fiktif terkait dengan laporan akhir kajian kelayakan lahan calon lokasi budidaya tebu PG Kedawoeng. Dokumen diduga fiktif itu berguna sebagai salah satu syarat kelengkapan dokumen untuk mencairkan uang muka termasuk pelunasan yang diajukan ke perseroan.
Selain dugaan dokumen fiktif, KPK menduga harga pembelian lahan calon budidaya tebu itu tidak wajar dan digelembungkan (mark up). Dugaan itu berdasarkan hasil review dan pemeriksaan P2PK Kementerian Keuangan, serta diperkuat dengan hasil kaji ulang litigasi Dewan Penilai Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) dan hasil penilaian KJPP Sisco Cabang Surabaya.
"MC juga tetap memaksakan dilakukan pembelian lahan walaupun fakta di lapangan diketahui persis yang bersangkutan dengan kondisi lahan memang tidak layak untuk ditanami tebu karena faktor keterbatasan lereng, akses dan air," papar Alex.
Lembaga antirasuah lalu menduga adanya uang Rp1 miliar yang dibagikan oleh MHK ke berbagai pihak di PTPN XI karena mendukung kelancaran proses transaksi lahan itu.
Di sisi lain, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp30,2 miliar akibat pembelian lahan oleh PTPN XI itu.
"Berdasarkan hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP akibat pengadaan dimaksud senilai Rp30,2 miliar," tutup Alex.
Atas perbuatan ketiga tersangka, mereka dijerat dengan pasal kerugian keuangan negara yakni pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.