Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mewacanakan revisi Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian presiden terpilih Prabowo Subianto.
Meski demikian, wacana tersebut menjadi polemik. Teranyar, PDI Perjuangan (PDIP) menyatakan penolakan atas wacana beleid tersebut.
Wacana yang disuarakan Gerindra itu bukannya tanpa Alasan. Muzani merasa, UU Kementerian Negara mengatur maksimal kementerian berjumlah 34 kurang fleksibel.
Namun, wacana itu muncul setelah sebelumnya muncul isu Prabowo ingin menambah jumlah kementerian menjadi 40.
"Ya, mungkin revisi itu [UU Kementerian Negara] dimungkinkan," jelas Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).
Menurutnya, tantangan dan masalah pemerintah kini jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu, UU Kementerian Negara dirasa kurang fleksibel untuk menjawab berbagai tantangan baru.
Baca Juga
Meski demikian, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan tidak ada yang salah dengan UU Kementerian Negara tersebut, meski mengatur maksimal kementerian berjumlah 34. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk merevisinya.
"Dalam pandangan PDI Perjuangan, kami percaya bahwa dengan UU Kementerian Negara yang ada sebenarnya masih visioner untuk mampu menjawab berbagai tantangan bangsa dan negara saat ini," jelas Hasto di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (13/5/2024).
Dia mengakui setiap presiden punya kebijakan masing-masing sehingga setiap kementerian bisa berbeda-beda nomenklaturnya. Hasto berpendapat, yang diperlukan yaitu keahlian dalam mengatur kelembagaan sesuai kebutuhan sehingga yang bermasalah bukan peraturan perundang-undangannya.
Pengajar di Universitas Pertahanan ini pun mencontohkan adanya perombakan kementerian pada masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) tanpa adanya revisi UU Kementerian Negara.
"Zaman Ibu Megawati, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian dijadikan satu. Kemudian pada periode pertama Bapak Presiden Jokowi, kita melihat itu terjadi pemisahan, kemudian dibentuk badan ekonomi kreatif misalnya," ungkap Hasto.