Bisnis.com, JAKARTA — Partai Gerindra mewacanakan sederet inovasi untuk mendukung kepemimpinan ketua umumnya, Prabowo Subianto yang menjadi Presiden terpilih untuk periode 2024–2029.
Wacana utak-atik kebijakan itu mencakup revisi Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian di kabinet; penyederhanaan sistem pemilihan umum atau Pemilu; dan penggabungan hingga pembubaran lembaga negara.
Hal itu disuarakan langsung oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani. Dia mendaku bahwa sejumlah ide atau wacana merupakan buah pikiran dari Prabowo yang ingin diwujudkan.
Wacana itu pun menjadi polemik di tengah masyarakat dengan respons pro dan kontra terhadapnya. Di satu sisi, rencana tersebut dinilai wajar untuk mendukung pemerintahan selanjutnya.
Namun di sisi lain, sejumlah wacana itu disebut sebagai upaya pemerintahan terpilih untuk mengakomodasi jatah koalisi dalam pemerintahan.
WACANA GERINDRA
Wacana pertama yang diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani terkait pemerintahan prabowo adalah revisi UU tentang Kementerian Negara. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian Presiden terpilih Prabowo.
Baca Juga
Muzani mengakui UU tersebut mengatur maksimal kementerian berjumlah 34. Meski demikian, belakangan muncul isu Prabowo ingin menambah kementerian menjadi 40.
"Ya, mungkin revisi itu [UU Kementerian Negara] dimungkinkan," jelas Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).
Alasannya, tantangan dan masalah pemerintah kini jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu, UU Kementerian Negara dirasa kurang fleksibel untuk menjawab berbagai tantangan baru.
Muzani menjelaskan, setiap presiden punya kebijakan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, presiden yang berbeda kerap merombak nomenklatur kementeriannya agar bisa mengakomodasi kebijakan yang ingin dibuat.
"[Sehingga] menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel, tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," ujarnya.
Bahkan, Muzani tidak menampik revisi tersebut bahkan bisa terjadi sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober mendatang.
Kedua, Muzani mendaku bahwa Prabowo ingin menyederhanakan penyelenggaraan pemilu agar warga tidak selalu ke tempat pemungutan suara (TPS). Menurutnya, Prabowo pernah menyatakan pemilu melelahkan karena begitu banyak yang harus dipilih masyarakat. Dia mencontoh Indonesia baru menyelesaikan pemilihan presiden dan legislatif, tetapi kini langsung dihadapkan dengan pemilihan kepala daerah.
"Kita cari solusinya bagaimana demokrasi itu bisa lebih sederhana sehingga rakyat tidak terus berhadapan dengan TPS," ujar Muzani.
Wakil ketua MPR menjelaskan, kini partai politik sudah sibuk menjaring calon-calon bupati/wali kota dan gubernur yang jumlahnya tak kurang dari 550 orang untuk diusung dalam ajang Pilkada 2024.
"Tentu harus kita sempurnakan, supaya bisa tidak sih disederhanakan? Kan kira-kira seperti itu, agar tidak melelahkan dan tidak berbiaya mahal," jelasnya.
Meski demikian, Muzani menyatakan belum ada wacana merevisi undang-undang ihwal kepemiluan. Penyempurnaan kepemiluan Indonesia agar lebih sederhana baru sekadar ide yang dilontarkan untuk jadi pembahasan bersama.
Ketiga, Partai Gerindra mewacanakan penggabungan hingga pembubaran lembaga negara pada masa pemerintahan Prabowo.
Muzani menjelaskan, Prabowo ingin pemerintahannya berjalan efisien sehingga penyesuaian lembaga negara akan dilakukan sesuai kebutuhan. Untuk itu, pihaknya sedang mempelajari lembaga-lembaga negara yang ada.
"Ada beberapa lembaga yang mungkin sedang diperkuat, tapi ada beberapa kelembagaan yang sedang dipelajari untuk digabungkan dengan kementerian yang ada, atau dilebur, atau malah dilikuidasi [dibubarkan]," ungkap Muzani.
Dia mencontohkan, salah satu lembaga yang sedang dikaji merupakan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Apalagi, beberapa waktu lalu, Prabowo menyatakan keinginan untuk membuat Presidential Club yang anggotanya berisi para mantan presiden sebelum Prabowo.
Prabowo ingin para mantan presiden memberikan masukan kepadanya. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menyatakan Prabowo mempunyai ide membentuk 'Presidential Club' sejak satu dasawarsa lalu.
POLEMIK
Wacana yang disuarakan Partai Gerindra itu pun menuai polemik. Langkah itu bahkan disebut sebagai upaya pemerintahan terpilih untuk mengakomodasi jatah koalisi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai revisi UU Kementerian Negara hanya untuk mengakomodasi jatah koalisi dalam pemerintahan.
Herdi merasa tidak ada legitimasi yang masuk akal untuk melakukan revisi UU Kementerian Negara. Oleh sebab itu, wacana tersebut diyakini hanya demi kepentingan politik semata.
"Dalam perspektif politik hukum, ini yang kami sebut sebagai autocratic legalism, yakni upaya menyandera UU demi untuk kepentingan kekuasaan semata. Tidak ada faedahnya untuk publik sama sekali," jelas Herdi kepada Bisnis, Minggu (12/5/2024).
Peraih gelar doktor dari UGM ini mengungkap, merubah suatu Undang-undang demi kepentingan kelompok atau golongan sendiri sudah menjadi kebiasaan para elite politik dewasa ini. Herdi tak heran apabila nantinya revisi UU Kementerian Negara bisa disahkan di DPR sebelum Prabowo dilantik.
"Semua ditabrak dan dilakukan dengan cara ugal-ugalan. Jadi tidak mengherankan kalau UU Kementerian juga hendak diubah," katanya.
Pendapat berbeda disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid. Fahri menganggap revisi UU Kementerian Negara menjadi sebuah keniscayaan.
Wakil ketua tim hukum Prabowo-Gibran ini menyampaikan hak seorang presiden untuk menentukan kementerian sudah diatur dalam konstitusi. Fahri menyebutkan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara.
"Presiden dalam menggunakan kewenangannya membentuk kabinet pemerintahan dan mengangkat menteri-menteri harus dikerangkakan dalam format berfikir konstitusional," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/5/2024).
Sebelumnya, sejumlah tokoh memberi komentar negatif ihwal isu penambahan kementerian di kabinet Prabowo lima tahun ke depan. Mantan kompetitor Prabowo dalam ajang Pilpres 2024, Mahfud Md salah satunya.
Mahfud bingung karena jumlah menteri selalu bertambah setiap selesai pemilu. Menurutnya, itu terjadi karena terlalu banyak yang dijanjikan kepada sesama elite selama pemilu.
"Menteri dulu kan 26, jadi 34, ditambah lagi. Besok pemilu yang akan datang tambah lagi jadi 60, pemilu lagi tambah lagi, karena kolusinya semakin meluas, rusak nih negara," ungkap Mahfud seperti yang disiarkan kanal YouTube Fakultas Hukum UII, Rabu (8/5/2024).
Eks ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan, seharusnya jumlah menteri dibuat sedikit mungkin seperti negara-negara demokrasi yang mapan. Menurutnya, penambahan jumlah menteri hanya akan memperbesar peluang korupsi karena setiap kementerian akan terima anggaran masing-masing.
Wacana lainnya pun menuai kritik. Sejumlah pihak menganggap Presidential Club tidak diperlukan karena sudah ada Wantimpres.