Bisnis.com, JAKARTA - Wacana perubahan alias amandemen Undang-undang No.39/2008 tentang Kementerian Negara menuai pro dan kontra. Gerindra mendukung dengan dalih fleksibilitas. Sedangkan PDI Perjuangan (PDIP) menolak karena UU existing masih cukup akomodatif.
Adapun Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani telah menjelaskan bahwa revisi UU Kementerian Negara dilakukan untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Ya, mungkin revisi itu [UU Kementerian Negara] dimungkinkan," jelas Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).
Menurutnya, tantangan dan masalah pemerintah kini jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu, UU Kementerian Negara dirasa kurang fleksibel untuk menjawab berbagai tantangan baru.
Muzani menjelaskan, setiap presiden punya kebijakan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, presiden yang berbeda kerap merombak nomenklatur kementeriannya agar bisa mengakomodasi kebijakan yang ingin dibuat.
"[Sehingga] menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel, tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," ujarnya.
Baca Juga
Bahkan, Muzani tidak menampik revisi tersebut bahkan bisa terjadi sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober mendatang.
PDIP Menolak
PDI Perjuangan (PDIP) menyatakan ketidaksetujuannya dengan revisi UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara seperti yang diwacanakan Partai Gerindra untuk akomodasi penambahan jumlah kementerian presiden terpilih Prabowo Subianto.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan tidak ada yang salah dengan beleid tersebut, meski mengatur maksimal kementerian berjumlah 34. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk merevisinya.
"Dalam pandangan PDI Perjuangan, kami percaya bahwa dengan UU Kementerian Negara yang ada sebenarnya masih visioner untuk mampu menjawab berbagai tantangan bangsa dan negara saat ini," jelas Hasto di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (13/5/2024).
Dia mengakui setiap presiden punya kebijakan masing-masing sehingga setiap kementerian bisa berbeda-beda nomenklaturnya. Hasto berpendapat, yang diperlukan yaitu keahlian dalam mengatur kelembagaan sesuai kebutuhan sehingga yang bermasalah bukan peraturan perundang-undangannya.
Pengajar di Universitas Pertahanan ini pun mencontohkan adanya perombakan kementerian pada masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) tanpa adanya revisi UU Kementerian Negara.
"Zaman Ibu Megawati, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian dijadikan satu. Kemudian pada periode pertama Bapak Presiden Jokowi, kita melihat itu terjadi pemisahan, kemudian dibentuk badan ekonomi kreatif misalnya," ungkap Hasto.
Dia pun berkeyakinan UU Kementerian Negara yang berlaku saat ini sudah mampu merepresentasikan seluruh tanggung jawab negara di dalam menyelesaikan seluruh permasalahan rakyat.