Bisnis.com, JAKARTA -- Isu tentang rencana penambahan nomenklatur kementerian di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sepertinya bukan isapan jempol semata.
Sekretaris Jenderal atau Sekjen Gerindra Ahmad Muzani telah secara terbuka mengakui rencana tersebut. Dia mengungkapkan bahwa pihaknya mewacanakan amandemen revisi Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara untuk mengakomodasi penambahan jumlah kementerian presiden terpilih Prabowo Subianto.
Muzani mengakui UU tersebut mengatur maksimal kementerian berjumlah 34. Meski demikian, belakangan muncul isu Prabowo ingin menambah kementerian menjadi 40.
"Ya, mungkin revisi itu [UU Kementerian Negara] dimungkinkan," jelas Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2024).
Menurutnya, tantangan dan masalah pemerintah kini jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu, UU Kementerian Negara dirasa kurang fleksibel untuk menjawab berbagai tantangan baru.
Muzani menjelaskan, setiap presiden punya kebijakan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, presiden yang berbeda kerap merombak nomenklatur kementeriannya agar bisa mengakomodasi kebijakan yang ingin dibuat.
Baca Juga
"[Sehingga] menurut saya UU kementerian itu bersifat fleksibel, tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," ujarnya.
Bahkan, Muzani tidak menampik revisi tersebut bahkan bisa terjadi sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober mendatang.
Tuai Kritikan
Adapunsejumlah tokoh beri komentar negatif ihwal isu penambahan kementerian di kabinet Prabowo lima tahun ke depan. Mantan kompetitor Prabowo dalam ajang Pilpres 2024, Mahfud Md misalnya.
Mahfud bingung karena jumlah menteri selalu bertambah setiap selesai pemilu. Menurutnya, itu terjadi karena terlalu banyak yang dijanjikan kepada sesama elite selama pemilu.
"Menteri dulu kan 26, jadi 34, ditambah lagi. Besok pemilu yang akan datang tambah lagi jadi 60, pemilu lagi tambah lagi, karena kolusinya semakin meluas, rusak nih negara," ungkap Mahfud seperti yang disiarkan kanal YouTube Fakultas Hukum UII, Rabu (8/5/2024).
Eks ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan, seharusnya jumlah menteri dibuat sedikit mungkin seperti negara-negara demokrasi yang mapan. Menurutnya, penambahan jumlah menteri hanya akan memperbesar peluang korupsi karena setiap kementerian akan terima anggaran masing-masing.
Pakar Beda Pendapat
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai revisi UU Kementerian Negara hanya untuk mengakomodasi jatah koalisi dalam pemerintahan.
Herdi merasa tidak ada legitimasi yang masuk akal untuk melakukan revisi UU Kementerian Negara. Oleh sebab itu, wacana tersebut diyakini hanya demi kepentingan politik semata.
"Dalam perspektif politik hukum, ini yang kami sebut sebagai autocratic legalism, yakni upaya menyandera UU demi untuk kepentingan kekuasaan semata. Tidak ada faedahnya untuk publik sama sekali," jelas Herdi kepada Bisnis, Minggu (12/5/2024).
Peraih gelar doktor dari UGM ini mengungkap, merubah suatu Undang-undang demi kepentingan kelompok atau golongan sendiri sudah menjadi kebiasaan para elite politik dewasa ini. Herdi tak heran apabila nantinya revisi UU Kementerian Negara bisa disahkan di DPR sebelum Prabowo dilantik.
"Semua ditabrak dan dilakukan dengan cara ugal-ugalan. Jadi tidak mengherankan kalau UU Kementerian juga hendak diubah," katanya.
Pendapat berbeda disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid. Fahri menganggap revisi UU Kementerian Negara menjadi sebuah keniscayaan.
Wakil ketua tim hukum Prabowo-Gibran ini menyampaikan hak seorang presiden untuk menentukan kementerian sudah diatur dalam konstitusi. Fahri menyebutkan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara.
"Presiden dalam menggunakan kewenangannya membentuk kabinet pemerintahan dan mengangkat menteri-menteri harus dikerangkakan dalam format berfikir konstitusional," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/5/2024).