Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Arab Saudi meningkatkan penangkapan terhadap warganya karena unggahan terkait perang Israel – Hamas di media sosial.
Melansir Reuters, Jumat (3/5/2024), tindakan keras ini ditempuh seiring dengan sinyal kesiapan Arab Saudi untuk menyetujui hubungan diplomatik dengan Israel jika mereka berkomitmen mengakui negara Palestina.
Menahan warganya yang berusia lebih dari 10 tahun karena komentar di dunia maya, serta pembatasan kebebasan berbicara dan ekspresi politik adalah hal yang biasa di Arab Saudi.
Kelompok HAM yang berbasis di Riyadh mengatakan serentetan penangkapan baru-baru ini dimotivasi oleh masalah keamanan yang secara khusus terkait dengan agresi Israel ke Jalur Gaza akibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Menurut departemen kesehatan Palestina, serangan balasan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 34.000 warga dan lebih lebih banyak lagi warga yang sangat membutuhkan makanan dan layanan kesehatan.
Hal ini memicu reaksi anti-Israel yang populer di seluruh dunia Arab dan di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat, di mana bentrokan kekerasan terjadi di kampus-kampus universitas.
Baca Juga
Arab Saudi dan sekutu regionalnya seperti Mesir dan Yordania khawatir dengan tren ini. Mereka khawatir bahwa Iran dan kelompok-kelompok Islamis dapat mengeksploitasi konflik ini untuk memicu gelombang gerakan massa.
Kenangan akan Musim Semi Arab lebih dari satu dekade yang lalu masih membekas di antara para penguasa regional, yang sangat ingin menghindari terulangnya peristiwa tersebut.
Menurut salah seorang sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, Arab Saudi menahan seorang eksekutif dari sebuah perusahaan yang terlibat dalam rencana transformasi ekonomi Visi 2030, yang merupakan landasan agenda Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Tahanan tersebut mengungkapkan pandangannya tentang konflik Gaza yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai penghasut.
Seorang tokoh media yang mengatakan bahwa Israel tidak boleh dimaafkan juga telah ditangkap, menurut sumber tersebut. Selain itu, seseorang yang menyerukan pemboikotan restoran cepat saji AS di Arab Saudi juga ditingak.
Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Hak Asasi Manusia Arab Saudi belum memberikan komentar.
Seseorang yang mengetahui pemikiran pemerintah Saudi mengakui adanya penangkapan tersebut dan mengaitkannya dengan apa yang disebutnya sebagai kewaspadaan tingkat tinggi pasca 7 Oktober dan keinginan pihak berwenang untuk mencegah orang-orang membuat pernyataan online tentang perang yang dapat berdampak pada keamanan nasional.
Para tokoh dan aktivis oposisi Arab Saudi pada hari Kamis di Amerika Serikat (AS) mengadakan konferensi terbesar mereka sejak pembunuhan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi, oleh agen-agen Arab Saudi pada 2018.
Mereka diharapkan dapat mengungkap apa yang mereka sebut sebagai "visi rakyat" untuk kerajaan yang mengutamakan kebebasan berbicara dan pembebasan semua tahanan politik.
Garis Keras
Penangkapan Saudi atas unggahan terkait Gaza mengindikasikan bahwa rezim Pangeran Mohammed akan mengambil garis keras terhadap warganya yang tidak mengikuti garis dalam hal normalisasi hubungan dengan Israel, yang sedang diupayakan oleh Saudi dan AS sebelum peristiwa 7 Oktober.
Saudi dan AS melanjutkan pembicaraan mengenai pakta pertahanan dan kerja sama AS dalam meluncurkan program nuklir sipil pada awal tahun ini. Seiring dengan hampir tercapainya kesepakatan, Israel akan diundang untuk bergabung dengan pakta tiga negara atau mengambil risiko ditinggalkan.
Sejak 7 Oktober, Arab Saudi telah mengkritik keras Israel atas perangnya di Gaza dan menuntut gencatan senjata segera. Namun mereka mengindikasikan tetap terbuka untuk pemulihan hubungan jika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menarik pasukannya dan berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina.
Namun, hasil perundingan terakhir ini masih jauh dari harapan, terutama ketika koalisi sayap kanan Netanyahu masih berkuasa.
Direktur kebijakan dan dampak European Leadership Network Jane Kinninmont mengatakan pPembatasan terhadap sentimen pro-Palestina di media sosial mungkin merupakan pertanda bahwa Riyadh serius dalam melakukan normalisasi dengan Israel,
"Jika mereka ingin mengubah kebijakan mereka dan pergi mengunjungi Israel dan meminta orang Israel datang ke Riyadh, ketika perang terlihat berbeda, maka mereka tidak ingin ada gerakan pro-Palestina yang mapan yang akan memprotes hal semacam itu," katanya seperti dilansir Reuters.