Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sama-sama mengisyaratkan penghentian negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. Keduanya menyatakan kelompok militan Palestina tersebut tidak menunjukkan itikad untuk mencapai kesepakatan.
Melansir Reuters pada Sabtu (26/7/2025), Netanyahu menyebut pemerintahannya tengah mempertimbangkan opsi alternatif guna mencapai dua tujuan utama, yakni memulangkan para sandera Israel dari Gaza dan mengakhiri kekuasaan Hamas di wilayah tersebut.
Saat ini, kondisi di Gaza semakin memburuk dengan kelaparan yang meluas dan sebagian besar penduduk kehilangan tempat tinggal di tengah kehancuran infrastruktur.
Sementara itu, Trump menyebut, Hamas benar-benar tidak ingin mencapai kesepakatan.
"Saya rasa mereka ingin mati. Dan itu sangat buruk. Kita harus menuntaskan pekerjaan ini,” ujar Trump kepada wartawan, sembari menambahkan bahwa para pemimpin Hamas akan diburu satu per satu.
Pernyataan kedua pemimpin tersebut menutup peluang untuk melanjutkan pembicaraan dalam waktu dekat, di saat kekhawatiran internasional meningkat terkait krisis kelaparan yang memburuk di Gaza.
Baca Juga
Israel dan AS secara resmi menarik delegasinya dari pembicaraan gencatan senjata di Qatar pada Kamis (24/7/2025), beberapa jam setelah Hamas menyerahkan tanggapan atas proposal gencatan senjata terbaru.
Sumber diplomatik awalnya mengatakan penarikan Israel hanya untuk konsultasi dan bukan berarti pembicaraan menemui jalan buntu. Namun pernyataan Netanyahu menunjukkan sikap Israel mengeras dalam semalam.
Utusan AS Steve Witkoff menyalahkan Hamas atas kebuntuan tersebut, dan Netanyahu menegaskan bahwa Witkoff benar dalam penilaiannya.
Pejabat senior Hamas, Basem Naim, melalui unggahan di Facebook menyatakan bahwa pembicaraan berlangsung konstruktif dan menuding komentar Witkoff sebagai upaya menekan pihak Israel.
“Apa yang kami ajukan—dengan penuh kesadaran akan kompleksitas situasi—kami yakini bisa mengarah pada kesepakatan, seandainya musuh memiliki kemauan politik untuk mencapainya,” tulis Naim.
Sementara itu, mediator dari Qatar dan Mesir menyebut masih terdapat kemajuan dalam putaran pembicaraan terakhir. Mereka menyatakan jeda merupakan bagian normal dalam proses, dan menegaskan komitmen untuk melanjutkan upaya mencapai kesepakatan bersama AS.
Proposal gencatan senjata yang tengah dibahas mencakup penghentian pertempuran selama 60 hari, peningkatan distribusi bantuan kemanusiaan ke Gaza, serta pembebasan sebagian dari sekitar 50 sandera yang masih ditahan militan, dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina dari penjara Israel.
Namun kesepakatan tertahan akibat perbedaan pandangan mengenai sejauh mana Israel harus menarik pasukannya serta tidak adanya kejelasan tentang masa depan Gaza setelah 60 hari, apabila tidak tercapai perjanjian permanen.
Menanggapi memburuknya situasi kemanusiaan, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa Paris akan menjadi negara besar Barat pertama yang mengakui negara Palestina secara independen.
Inggris dan Jerman menyatakan belum siap mengikuti langkah itu, tetapi bersama Prancis menyerukan gencatan senjata segera.
Perdana Menteri Inggris Keith Starmer mengatakan pengakuan negara Palestina hanya akan diberikan sebagai bagian dari kesepakatan damai yang dinegosiasikan.
Trump menanggapi dingin langkah Macron. “Apa yang dia katakan tidak penting,” ujar Trump. “Dia orang yang baik. Saya suka dia, tapi pernyataannya tidak punya bobot.”
Menteri Keamanan Nasional Israel dari kubu sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, menyambut langkah Netanyahu dan menyerukan penghentian total bantuan ke Gaza serta penaklukan penuh wilayah tersebut.
“Penghancuran total Hamas, dorong emigrasi, [dan] pemukiman Yahudi," tulisnya dalam media sosial X.