Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memaknai Politik Dinasti Pasca Putusan MK

Isu politik dinasti muncul dalam sengketa Pilpres 2024. Belakangan tudingan MK menolak dalil tersebut. Sejatinya, apa yang dimaksud politik dinasti?
Presiden Joko Widodo mengenakan baju Ageman Songkok Singkepan Ageng busana para raja trah Pakubuwono di Keraton Surakarta Hadiningrat sesaat sebelum menjadi pembina upacara HUT-78 RI di Istana Merdeka, Kamis (17/8/2023)-Setwapres
Presiden Joko Widodo mengenakan baju Ageman Songkok Singkepan Ageng busana para raja trah Pakubuwono di Keraton Surakarta Hadiningrat sesaat sebelum menjadi pembina upacara HUT-78 RI di Istana Merdeka, Kamis (17/8/2023)-Setwapres

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) lepas dari tudingan nepotisme dan politik dinasti setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua dalil gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta kubu 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Majelis hakim konstitusi menganggap bahwa tudingan tentang nepotisme tidak terbukti. MK beralasan tidak menemukan indikasi Jokowi cawe-cawe Pilpres 2024 dan memastikan majunya putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, telah melalui mekanisme yang berlaku.

Sekadar catatan, kubu Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud sebelumnya mendalilkan bahwa keberadaan Gibran yang dipilih oleh koalisi partai politik sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto, dimaknai sebagai praktik nepotisme yang dijalankan oleh Jokowi.

Nepotisme dalam pengertian secara luas bisa dimaknai sebagai tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Sementara versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.

Sedangkan, dalam arti spesifik mengacu ke regulasi terkait dengan penyelenggara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), praktik nepotisme diartikan sebagai perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam konteks kekerabatan, keterlibatan satu keluarga dalam kontestasi politik dapat dimaknai pula sebagai praktik politik dinasti. 

Martien Herna Susanto dalam artikel berjudul Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia yang dimuat Journal of Government and Civil  Society pada 2017, mencatat bahwa politik dinasti merupakan proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu, contohnya keluarga elite yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Ada relasi kuat, jika mengacu pada makna nepotisme dan politik dinasti ini, yakni sama-sama menyangkut keluarga atau kekerabatan. Dalam artikel itu disebutkan politik dinasti sebagai musuh demokrasi. Dengan kata lain, nepotisme juga bisa dikatakan juga sebagai musuh demokrasi. 

Penegasan Makna

Keputusan MK terkait dengan gugatan PHPU mempertegas makna nepotisme dalam sistem demokrasi pemilihan pemimpin di berbagai level yang dilakukan secara langsung melalui pemungutan suara.

Dalam salah satu bagian menjawab dalil para pemohon terkait dengan adanya nepotisme yang melibatkan Presiden Jokowi dengan Gibran Rakabuming Raka, anak bungsu Jokowi, MK menggunakan landasan berupa Putusan MK Nomor 33/PUUXIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka pada 8 Juli 2015.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka

Dalam putusannya itu, MK menghapus Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terkait dengan syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Menurut perspektif MK, jabatan wakil presiden yang dipersoalkan oleh para pemohon adalah jabatan yang pengisiannya melalui pemilihan (elected position) dan bukan jabatan yang ditunjuk atau diangkat secara langsung (directly appointed position). 

Sementara itu, jabatan yang terkait dengan larangan nepotisme adalah jabatan yang pengisiannya dilakukan dengan cara ditunjuk atau diangkat secara langsung.

Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan, tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme.

Kendati putusan MK pada 2015 terkait dengan pemilihan kepala daerah, menyusul persamaan rezim pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum, MK menilai dasar putusan itu relevan untuk dijadikan substansi dalam menjawab dalil para pemohon terkait dengan nepotisme.

Adanya putusan MK itu menjadikan istilah nepotisme, politik dinasti, ataupun hal lain yang terkait dengan kekerabatan dalam jabatan politik, menjadi tidak relevan dalam rezim pemilihan umum langsung.

Putusan MK itu memiliki arti selama kandidat yang diusung dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, pemilihan anggota parlemen, dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung, kandidat yang berkerabat atau memiliki jalur keluarga dengan pejabat pemerintahan lain, tidak dapat dikatakan menjalankan politik dinasti atau nepotisme.

Riset Nagara Institute pada 2021 mencatat sebanyak 129 kandidat yang bertarung di Pilkada 2020, berasal dari politik kekerabatan. Dari jumlah itu, sebanyak 8 orang kandidat merupakan pasangan calon tunggal. 

Lalu, sebanyak 72 orang kandidat kalah dalam kontestasi dan 57 orang kandidat berhasil memenangkan pilkada. Dari 72 orang yang kalah itu, sebanyak 27 kandidat melanjutkan gugatannya ke MK hingga ada putusan harus digelar pemungutan suara ulang. 

Dari 16 daerah yang ditetapkan PSU oleh MK, terdapat 6 daerah yang diikuti oleh pasangan dari politik dinasti.

Jika mengacu pada pertimbangan MK terkait dengan pengisian jabatan melalui pemilihan langsung yang tidak masuk dalam kategori nepotisme, rasanya sulit untuk membangun sistem demokrasi substantif, partisipatif dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk dipilih, apabila sistem pemilu masih berjalan seperti saat ini.

Pilkada 2020, misalnya, kita bisa menemui pemilihan kepala daerah yang demi unsur demokratis, harus menghadirkan kandidat dari jalur perseorangan atau independen yang tidak kompetitif. Kehadirannya hanya untuk mewadahi kandidat lain untuk memenangi kontestasi atas nama pemilihan langsung.

Di daerah lain, kelanjutan jabatan kepala daerah acapkali juga hanya bertukar dari suami ke istri. Atau dari bapak ke anak, yang tentu menutup ruang bagi lahirnya praktik demokrasi atau regenerasi kepemimpinan yang partisipatif.

Jelang pemilihan kepala daerah pada November 2024, rasanya praktik kekerabatan dalam proses pencalonan kepala daerah masih akan marak.

Alhasil, masyarakat masih harus menerima apabila politik kekerabatan di republik akan terus berlangsung dan berjalan langgeng apabila tidak disertai terobosan kebijakan dalam sistem kepemiluan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper