Bisnis.com, JAKARTA — Tuduhan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) di Pilpres 2024 yang dianggap menguntungkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai ‘salah kamar’.
Hal itu diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Abdul Chair Ramadhan tentang klaim yang dialamatkan oleh tim hukum pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, tuduhan penyalahgunaan bansos di Pilpres masuk dalam domain Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dan bukan kewenangan MK.
“Maka dengan itu dugaannya adalah termasuk atau tergolong pelanggaran administrasi pemilu yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif [TSM] menjadi ranah domain Bawaslu, bukan domain kewenangan MK. Itu jelas ketentuannya,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (31/3/2024) seperti dilansir Antara.
Abdul mengatakan kewenangan MK adalah menghitung selisih suara dalam perkara perselisihan suara pemilu, bukan penyaluran bansos.
"MK terikat dengan ketentuan Undang-Undang No. 17/2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 457 Ayat (2) yang menyatakan bahwa MK berwenang memutuskan perkara perselisihan suara," jelasnya.
Baca Juga
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia itu menjelaskan bansos yang digelontorkan pemerintah sudah sesuai mekanisme, tidak ada kaitannya dengan pemilu.
Menurutnya, pasal 460 juncto 463 Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilu, mengatur kompetensi yang dimiliki oleh Bawaslu. Selain itu, peraturan Bawaslu No. 8/2022 tepatnya di Pasal 12 telah menentukan kewenangan Bawaslu.
Oleh karena itu, Abdul menilai wajar jika kemudian tim hukum nomor urut 2 Prabowo-Gibran mengatakan gugatan paslon 1 dan 3 “salah kamar”. Kesalahan dimaksud menunjuk pada kesalahan dalam pengajuan gugatan yang tidak pada tempatnya.
“Dengan demikian tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penghitungan suara. Secara argumentum a contrario atau dalam ilmu fikih disebut mafhum mukhlafah, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Menurut Abdul, jelas bahwa kewenangan MK hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif pemilu, utamanya secara TSM yang notabene pendekatannya adalah kualitatif.
“Keadilan itu adalah dilakukan secara proporsional, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Menempatkan perselisihan terhadap pelanggaran administrasi pemilu secara TSM kepada Mahkamah Konstitusi bukan pada tempatnya, itu tempatnya Bawaslu untuk memeriksa, memutus. Adapun menempatkan hanya terhadap penghitungan suara calon presiden dan wakil presiden, itu hanya kewenangan Mahkamah Konstitusi,” katanya menegaskan.