Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 11 kepala daerah mengajukan gugatan uji materiil Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini, Jumat (26/1/2024).
Mereka adalah Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Danny Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar selaku pemohon.
Diwakili oleh Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang dari Visi Law Office selaku kuasa hukum, mereka mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) dalam UU No. 10/2016 yang mengatur perihal pilkada serentak pada November 2024, karena berpotensi memangkas masa jabatan para kepala daerah.
“Desain keserentakan Pilkada 2024 dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sebab telah merugikan sejumlah 270 kepala daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan,” demikian keterangan Visi Law Office yang diterima Bisnis, Jumat (26/1/2024).
Menurut kuasa hukum pemohon, jumlah tersebut mencapai 49,5% dari total 546 kepala daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia.
Meskipun pasal-pasal itu juga pernah diuji ke MK, para pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Kali ini, pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis Pilkada 2024 serentak, sehingga berpotensi menghambat pilkada yang berkualitas.
Baca Juga
Itu sebabnya, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan pilkada di 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.
Gelombang pertama dicanangkan pada November 2024 sebanyak 276 daerah, lalu gelombang kedua mencakup 270 daerah dan dilaksanakan pada Desember 2025.
“Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan, hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi, sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut,” pungkas keterangan kuasa hukum.
Sebagai informasi, Pasal 201 ayat (7) UU No. 10/2016 berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024."
Ayat berikutnya menjelaskan bahwa Pilkada di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Ketentuan ini kemudian ditimpali oleh Pasal 201 ayat (9) yang berbunyi, "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024."