Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Masa Jabatan Terpangkas, Tujuh Kepala Daerah Gugat UU Pilkada ke MK

7 kepala daerah mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Polisi berjaga di sekitar Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (14/6/2019). Polri kembali menerapkan skema pengamanan empat lapis atau ring saat sidang permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Polisi berjaga di sekitar Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (14/6/2019). Polri kembali menerapkan skema pengamanan empat lapis atau ring saat sidang permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 7 kepala daerah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota atau UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.

Mereka adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, serta Wali Kota Tarakan Khairul.

Para pemohon mengajukan judicial review Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, yang berbunyi: “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.  

Donal Fariz selaku kuasa hukum pemohon mengatakan bahwa permohonan ini diajukan untuk memberikan kepastian hukum yang diakibatkan oleh adanya "kekosongan norma" pada pasal tersebut.

"Diharapkan, MK memberikan tafsir konstitusional tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada tahun 2018, namun baru dilantik pada tahun 2019," kata Donal dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Kamis (16/11/2023).

Menurutnya, pasal tersebut rentan ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat merugikan para pemohon sekaligus masyarakat di daerah yang telah memilih para pemohon sebelumnya.

Dia melanjutkan, apabila mengacu pada Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada, pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan pada 2018 bukan saja dilakukan terhadap kepala daerah yang habis masa jabatan di tahun yang sama, tetapi juga bagi kepala daerah yang habis masa jabatan pada 2019.

Sementara itu, para pemohon adalah kepala daerah yang terpilih pada 2018, tetapi baru bisa dilantik pada 2019 di bulan yang berbeda-beda, sehingga masa jabatan para kepala daerah itu terpangkas mulai dari 2 bulan sampai dengan 6 bulan.

“Hal tersebut berdampak masa jabatan para pemohon tidak utuh selama 5 tahun, sebagaimana ketentuan [pasal] 162 ayat (1) dan (2) UU Pilkada yang secara jelas menyebutkan kepala daerah memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan,” lanjutnya.

Itu sebabnya, pihaknya meminta MK untuk menegaskan tafsir konstitusional berdasarkan amanat pasal tersebut, serta menegaskan bahwa permohonan ini tidak ditujukan untuk menambah masa jabatan.

Adapun, perkara tersebut telah teregister di MK dengan Nomor 143/PUU-XXI/2023. MK menggelar sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (15/11/2023), dan tengah memproses perkara tersebut hingga pembacaan putusan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper