Bisnis.com, JAKARTA -- Amerika Serikat mengeroyok Yaman. Mereka menghujani wilayah itu dengan rudal-rudal canggih senilai jutaan dolar. Gempuran AS yang dibantu bekas penjajahnya, Inggris adalah sebuah hukuman terhadap tindakan otoritas Yaman, di bawah kelompok Houthi, yang dinilai menganggu aktivitas pelayaran di Laut Merah.
Laut merah adalah jalur strategis karena menjadi urat nadi perdagangan di kawasan Asia dan Eropa. Arus barang dari Asia dibawa kapal-kapal bermuatan raksasa menuju Terusan Suez. Dari Suez kapal-kapal itu kemudian membanjiri wilayah Laut Mediterania yang menjadi jantung perdagangan Eropa sejak zaman klasik.
Gangguan terhadap pelayaran di Laut Merah memicu konsekuensi yang panjang. Arus barang terganggu. Biaya logistik juga naik karena perusahaan logistik global, harus memutar haluan untuk menghindari Laut Merah, terutama Selat Bab Al Mandab, tempat para pejuang Houthi menunggu kapal-kapal yang terafiliasi dengan negara Zionis, Israel.
Para pelaku logistik mau tidak mau harus menghindari laut merah dan memilih menuju ke selatan. Mereka melewati Tanjung Harapan, Samudra Atlantik, kemudian masuk ke Mediterania melalui Selat Gibraltar yang memisahkan daratan Afrika dengan Eropa. Alhasil, jalur pelayaran kembali ke masa sebelum terusan Suez dibangun oleh insinyur Prancis, Ferdinand de Lesseps pada 1869.
Tindakan Houthi memang membuat para pelaku perdagangan ketar-ketir. Tetapi,alasan Houthi menyerang kapal-kapal yang terkait dengan Israel bukannya tanpa sebab. Houthi adalah kelompok politik yang sekarang berkuasa di Yaman. Mereka berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi yang didukung Arab Saudi dan sekutu dekatnya, Amerika Serikat.
Sejak perang antara Israel dan Hamas meletus pada 7 Oktober 2023 lalu, Houthi telah menegaskan posisinya untuk mendukung Hamas dan penduduk Palestina. Apalagi serangan Israel ke Gaza telah membunuh warga sipil dan anak-anak. Houthi menganggap langkah Israel itu harus dihentikan sesegera mungkin. Mereka kemudian beberapa kali mengirimkan ’hadiah’ rudal ke wilayah pendudukan Israel. Tak hanya itu, Houthi juga menyerang kapal-kapal yang berhubungan dengan Israel di Laut Merah.
Baca Juga
Aksi inilah yang membuat AS dan para konco-nya berang. Mereka kemudian memutuskan untuk menyerang wilayah-wilaya Yaman yang dikendalikan oleh Houthi. Serangan udara itu berlangsung malam hari dan mengenai sejumlah objek strategis. Namun Houthi mengklaim bahwa, serangan itu tidak berarti apapun dan mengulang kegagalan koalisi Arab Saudi yang bertahun-tahun mencoba menaklukkan kelompok milisi yang dibeking oleh Iran tersebut.
Sejatinya, kekuatan AS ditambah dengan koalisi Barat-nya bukan lawan sepadan bagi Houthi Yaman. Houthi hanya sebuah milisi, meskipun dari sisi persenjataan mereka memiliki rudal-rudal dengan jelajah yang mematikan.
Namun jika melihat statistik, kekuatan militer Houthi Yaman dengan AS plus Sekutu bagai bumi dan langit. AS adalah negara superpower, mereka memiliki persenjataan canggih baik di darat, laut dan udara. Sedangkan Houthi hanya mengandalkan bantuan dari Iran.
Situs Globalfire Power, misalnya menempatkan AS di peringkat 1 dunia. Sedangkan Yaman, mereka berada jauh di bawah AS yakni di peringkat 81.
Sementara itu jika membandingkan anggaran militer mereka, pada tahun 2022 versi Bank Dunia, anggaran militer AS mencapai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar US$890 miliar. Angka ini dihitung dari PDB AS pada tahun 2022 senilai US$25,44 triliun.
Adapun, anggaran militer Yaman, oleh Bank Dunia terakhir kali diperbaharui pada tahun 2014 dengan estimasi anggaran senilai 4 persen dari PDB. Tahun 2014 PDB Yaman hanya senilai US$43,23 miliar. Sehingga anggaran militer Yaman pada waktu itu hanya sekitar US$1,72 miliar.
Perbandingan baik dari sisi militer maupun anggaran militer tersebut menunjukkan bahwa perang antara AS dan Yaman itu tidak seimbang. Kalau mau diibaratkan, seperti cerita David vs Goliath.