Bisnis.com, JAKARTA – Suasana Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, baik di dalam ruang sidang maupun di luar, seketika riuh haru setelah Majelis Hakim memvonis bebas aktivis HAM, Haris Azhar-Fathia Maulidyanti dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.
"Kita menang, hidup rakyat! Hancurkan oligarki!" teriak Haris usai persidangan yang kemudian disambut riuh pendukungnnya. Mereka merayakan ‘kemenangan’ itu dengan pelukan dan pekik syukur.
Sidang putusan di PN Jaktim pada hari ini, Senin (8/1/2024), memang dibanjiri para pendukung Haris dan Fatia. Berdasarkan pantauan Bisnis, massa yang hadir mendesak agar kedua aktivis HAM itu dibebaskan dari segala tuntutan.
Mereka membawa berbagai poster dengan beragam sindiran kepada pemerintah. Sebuah poster berwarna kuning, misalnya, bertuliskan "Activism Is Not A Crime". Poster lainnya menyematkan pesan, "Kita Berhak Kritis".
Mereka tak gentar mengusung tuntutannya meski PN Jakarta Timur dijaga ketat oleh anggota kepolisian baik di dalam maupun di luar sidang. Bahkan, pihak keamanan tidak mengizinkan sembarang orang untuk masuk ke dalam ruang persidangan.
Tak mengherankan, Haris Azhar usai persidangan menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang mendukungnya selama terjerat kasus pencemaran nama baik itu. Berbagai bentuk dukungan diterimanya bersama Fatia, mulai dari gerakan aksi kamisan hingga anti-korupsi.
Baca Juga
"Ini adalah gerakan sosial yang paling termanifestasi dengan di ruang pengadilan. Ini yang kita sebut sebagai aktivisme pengadilan yang berpihak pada hak asasi manusia, lingkungan hidup dan masyarakat adat," kata Haris.
Segendang sepenarian, Fatia berharap aktivisme pengadilan yang bertumpu pada rasa solidaritas itu bisa berlanjut ke depan.
“Saya harap solidaritas-solidaritas seperti itu tidak hanya berhenti di kami berdua, tapi juga di banyak momen-momen lainnya untuk kemerdekaan demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup yang bersih dan sehat juga antikorupsi,” tegasnya.
Selain itu, dia menegaskan bahwa vonis bebas yang diterimanya bersama Haris merupakan bukti bahwa hukum memang sudah semestinya setara baik bagi rakyat maupun pemangku kebijakan.
“Dengan ini, juga menunjukkan bahwa memang hukum semestinya itu setara," ujarnya.
Berawal dari Siniar & Julukan ‘Lord’
Kasus pencemaran nama baik ini berawal dari unggahan video berjudul "Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada" di Youtube Haris pada Agustus 2021.
Di dalam video tersebut, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi, seperti KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, Pusaka tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI AD di balik tambang emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Pada saat yang sama, kedua aktivis ini memberikan julukan ‘Lord’ kepada sosok yang tengah menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu.
Tak terima atas tudingan itu, pihak Luhut ‘menabuh genderang perang’ dengan Haris dan Fatia via jalur hukum.
"Disampaikan di wawancara itu, jadi 'Luhut bermain tambang-tambang di Papua'," kata Kuasa hukum Luhut Binsar Pandjaitan, Juniver Girsang, pada Agustus 2021.
Laporan kemudian dibuat setelah Luhut melayangkan dua kali somasi kepada mereka. Luhut merasa jawaban Fatia dan Haris atas somasi yang dilayangkannya tidak memuaskan. Salah satu poin dalam somasi Luhut yang tak dilakukan Fatia dan Haris adalah meminta maaf.
Singkatnya, upaya saling lapor sempat terjadi. Namun, akhirnya Haris dan Fatia menjadi tersangka dengan dua dakwaan yakni pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong.
Sidang perdana kasus itu pun dimulai pada 3 April 2023. Sidang berjalan sepanjang tahun lalu dan sering kali berlangsung panas dengan ‘jual-beli’ interupsi dan keberatan antara kuasa hukum pelapor dan tersangka.
Yang pasti, Luhut yang sempat hadir sebagai saksi dengan tegas membantah semua tudingan Haris-Fatia soal keterlibatannya di pertambangan Papua.
Pada akhir 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Haris Azhar 4 tahun, sedangkan Fatia dituntut 3,5 tahun penjara. Selain itu, Haris dituntut membayar denda pidana Rp1 juta dengan subsider 6 bulan kurungan penjara, sedangkan Fatia dengan denda pidana Rp500.000 dengan subsider 3 bulan pidana.
Namun, putusan Majelis Hakim PN Jaktim berkata lain. Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana membacakan amar putusan kasus tersebut dan membebaskan Haris-Fatia dari segala dakwaan.
"Membebaskan dalam segala dakwaan," kata Cokorda di ruang sidang PN Jakarta Timur.
Dalam putusannya, majelis hakim mengatakan bahwa penyebutan kata "Lord" tidak bisa disebut sebagai penghinaan. Pasalnya, majelis hakim menilai julukan tersebut bukanlah kata yang berkonotasi negatif.
"Menimbang bahwa majelis hakim menilai kata 'Lord' pada Luhut Binsar Panjaitan bukan dimaksud dengan penghinaan nama baik. Kata Lord bukan menggambarkan kata yang buruk, jelek, atau hinaan fisik tetapi merujuk pada status-status berhubungan dengan kedudukannya juga," ujar hakim anggota Muhammad Djohan Arifin.
Kemudian, dakwaan kedua soal berita bohong yang disiarkan oleh Haris-Fatia juga diputuskan tidak terbukti oleh majelis hakim. Dengan demikian, kedua aktivis HAM ini lepas dari segala dakwaan.