Bisnis.com, JAKARTA -- Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Joko Agus Setyono akhirnya buka suara. Dia mengungkap penyebab memburuknya kinerja keuangan PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Salah satu yang dia soroti adalah proyek Jakarta International Stadium (JIS) dan renovasi Taman Ismail Marzuki (TIM).
Joko mengungkapkan bahwa dua proyek ini telah cacat sejak lahir. Pemicunya adalah skema pembiayaan yang dinilai membebani keuangan Jakpro secara korporasi. JIS dan revitalisasi TIM adalah dua proyek penugasan pada pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dua bangunan itu dianggap sebagai proyek paling monumental pada pemerintahan Anies.
Namun demikian, Joko menekankan skema pembiayaan dua proyek yang berasal dari penyertaan modal daerah (PMD) tidak tepat. Seharusnya Pemprov DKI menugaskan Jakpro untuk membangun TIM dan JIS menggunakan anggaran perseroan, bukan malah menggelontorkan PMD. Nantinya ketika fasilitas ini telah selesai tinggal dibayar oleh Pemprov DKI.
“Jadi bukan dari PMD, sehingga pada saat sudah terbangun pemerintah tinggal bayar saja. Kalau sekarang kan membebani biaya pemeliharaan, kemudian biaya penyusutan,” kata Joko, Kamis pekan lalu.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta tahun 2022 (audited) mengungkap bahwa Pemprov DKI mengguyur Jakpro triliunan rupiah untuk pembangunan JIS dan revitalisasi TIM Pemprov DKI Jakarta. Pada 2020 jumlah PMD yang disalurkan ke Jakpro mencapai Rp1,38 triliun.
Sumber pendanaan PMD tersebut berasal dari pinjaman Dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN. PMD senilai Rp1,38 triliun itu digunakan untuk membiayai pengembangan infrastruktur JIS senilai Rp1,18 triliun dan revitalisasi TIM senilai Rp200 miliar.
Baca Juga
Sementara itu tahun 2021, jumlah PMD yang berasal dari sumber dana yang sama mencapai Rp3,7 triliun. PMD triliunan rupiah kepada Jakpro itu digunakan untuk proyek JIS senilai Rp2,46 triliun dan proyek revitalisasi TIM senilai Rp1,24 triliun. Total PMD yang dikucurkan Pemprov DKI untuk membuat proyek prestisius tersebut sekitar Rp5,08 triliun.
Namun guyuran triliunan uang tersebut tidak membuat kinerja keuangan Jakpro membaik. Jakpro justru dibebani oleh biaya perawatan yang selangit. Khusus perawatan JIS Jakpro harus merogoh kocek hingga Rp50 miliar – Rp60 miliar per tahun. Selain itu, mereka terus mengalami kerugian dalam kurun 4 tahun terakhir.
“Pengelolaan JIS dan TIM sedang kita bahas. Mudah-mudahan bisa menambah pendapatan daerah melalui dividen," jelasnya.
Dalam catatan Bisnis, keuangan Jakpro memang belum sepenuhnya pulih. Jakpro dibebani oleh sejumlah proyek penugasan. Selain JIS dan revitalisasi TIM, proyek prestisius lainnya adalah gelaran Formula E Jakarta. Alhasil BUMD DKI itu hanya membagikan dividen kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebanyak 2 kali.
(Grafik Keuangan Jakpro, Sumber: Annual Report Jakpro 2021)
Berdasarkan data Badan Pembinaan BUMD (BP BUMD) DKI, Jakpro sempat mencatatkan keuntungan pada 2018. Pada waktu itu Jakpro membukukan laba bersih senilai Rp244 miliar. Adapun laba kotor yang diperoleh Jakpro sebesar Rp101, 49 miliar, dan rugi usaha dicatatkan sebesar Rp167 miliar.
Pada periode tersebut, Jakpro mampu memberikan dividen kepada Pemprov DKI sebesar Rp95 miliar.
Meski sempat mengalami kinerja keuangan yang cukup baik, pada 2019 Jakpro tidak mampu mencatatkan keuntungan. Perusahaan ini membukukan rugi bersih sebesar Rp76,22 miliar. Pemprov DKI harus gigit jari karena tidak memperoleh dividen.
Selanjutnya pendapatan usaha Jakpro pada 2019 tercatat sebesar Rp429 miliar, mengalami peningkatan 14,58 persen dibandingkan dengan periode sama pada tahun sebelumnya. Namun beban pokok pendapatan dicatat sebesar Rp279 miliar.
Pada 2020, Jakpro juga mencatatkan rugi bersih senilai Rp240 miliar atau naik 216 persen. Meski rugi, Jakpro tetap memberikan dividen sebesar Rp15 miliar kepada Pemprov DKI.
Pendapatan usaha Jakpro pada 2020 mengalami peningkatan 76,27 persen dibandingkan periode sebelumnya, dengan perolehan sebesar Rp756 miliar. Beban pokok pendapatan perusahaan diperoleh sebesar Rp707,13 miliar.
Total aset perusahaan pada periode tersebut diperoleh sebesar Rp20,4 triliun, naik 6,38 persen dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya.
Pada 2021, rugi bersih Jakpro mengalami penurunan sebesar 53 persen menjadi Rp110 miliar. Namun, perusahaan tidak membagikan dividen pada periode ini. Laba kotor perusahaan pada periode tersebut diperoleh sebesar Rp96 miliar, dan rugi usaha sebesar Rp401 miliar.
Pendapatan usaha Jakpro pada 2021 mengalami peningkatan 2,8 persen menjadi Rp778 miliar dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya. Adapun beban pokok pendapatan perusahaan diperoleh Rp682 miliar.
Dalam laporan keuangan perusahaan, tumbuhnya pendapatan Jakpro tersebut ditopang oleh segmen sewa lahan yang dikerjasamakan, dimana diperoleh sebesar Rp18,17 miliar. Selain itu, juga ditopang dari pendapatan sewa sebesar Rp62,44 miliar, dan pendapatan lainnya sebesar Rp697 miliar.
Namun demikian, rugi bersih Jakpro kembali mencatatkan peningkatan pada 2022, dimana pada periode ini dicatatkan sebesar Rp280 miliar, atau naik 152 persen dari periode sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp110 miliar. Jakpro juga tidak membagikan dividen kepada Pemprov DKI pada periode ini. Padahal tahun lalu Pemprov DKI menargetkan dividen dari Jakpro Rp14 miliar.
Sebagai informasi, Bisnis mencoba menelusuri laporan keuangan Jakpro dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Namun demikian, dalam situs resmi Jakpro hanya dicantumkan laporan keuangan untuk periode 2021, sedangkan periode lainnya sudah dihapus.
Bisnis telah mencoba menghubungi Direktur Utama Jakpro Iwan Takwin baik melalui pesan teks maupun sambungan telepon untuk mengonfirmasi ihwal kondisi keuangan Jakpro. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban dari Iwan.
Di sisi lain, Corporate Communication Jakpro Melisa Sjach menjanjikan jawaban kepada Bisnis. Dia mengatakan sedang mengkoordinasikan jawabannya terlebih dahulu saat dihubungi pekan lalu. "Dikoordinasikan dulu. Full event Weekend ," jelasnya
Sementara itu, Kepala BP BUMD DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono mengungkapkan bahwa Pemprov DKI telah melakukan berbagai cara untuk memperbaiki keuangan Jakpro. Mereka terus mendorong Jakpro untuk kembali fokus kepada bisnis intinya. Pihaknya juga terus melakukan monitoring dan evaluasi setiap kali melakukan pertemuan dengan direksi maupun manajemen Jakpro.
"Kami juga meminta Jakpro untuk memaksimalkan potensi yang ada, termasuk aset-aset hasil penugasan."
Jual Cucu Usaha Jaga Arus Kas
Kebutuhan dana segar dan tren kinerja kas yang terus menurun membuat Jakpro melego aset milik cucu usahanya. Bisnis pernah menyajikan laporan tentang kejanggalan divestasi saham PT Jakarta Marga Jaya yang terbit pada 26 Juli 2022.
Cerita berawal dari tahun 2020 lalu. Pada waktu itu, Jakpro melalui anak usahanya Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) melego saham PT Jakarta Marga Jaya ke Astra Tol Nusantara (Astra Tol).
PT Jakarta Marga Jaya (JMJ) adalah anak usaha dari PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Mayoritas saham PT JMJ semula dikuasai PT Jakarta Propertindo melalui PT Jaya Infrastruktur Propertindo (JIP) sebanyak 51 persen. Sementara Pembangunan Jaya Group menguasai saham PT JMJ sebanyak 45 persen.
Namun pada tahun 2020, status kepemilikan saham PT JMJ berubah. PT Astra Tol Nusantara, entitas anak usaha konglomerasi Astra Internasional, mengakuisisi 100 persen saham PT JMJ. Perubahan status kepemilikan tersebut praktis membuat Jakpro kehilangan kendali pengelolaan Jalan Tol Ulujami-Kebon Jeruk.
(Acara divestasi saham JMJ ke Astra Tol)
Arsip pemberitaan Bisnis.com (26/11/2020) mencatat bahwa Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BP-BUMD) DKI Jakarta, beberapa hari setelah divestasi, menyatakan bahwa pelepasan aset atas Jalan Tol Lingkar Jakarta itu diambil untuk menjaga arus kas induk perusahaan Jakpro.
“Jakpro ada penugasan-penugasan dari mana penugasan itu tidak semua dibiayai oleh BUMD dari APBD kan begitu, dibiayai dari kasnya sendiri, tetapi dari kasnya ada kebutuhan karena terdampak pandemi dia lepas aset itu," demikian penjelasan BP BUMD DKI.
Jakpro adalah salah satu BUMD milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sebagai BUMD, Jakpro kerap mendapat penugasan dari Pemprov DKI Jakarta. Salah satu proyek paling prestisius selama kurun waktu 2020-2022 adalah pembangunan JIS, revitalisasi TIM, dan penyelenggaran Formula E Jakarta.
PT JMJ adalah perusahaan patungan Jakpro melalui entitas anak usahanya PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) dengan Pembangunan Jaya Group. Porsi saham Jakpro lewat PT JIP mencapai 51 persen. Sedangkan sisanya Pembangunan Jaya Group sebanyak 49 persen.
Tahun 2020, semua saham JMJ diakuisisi oleh Astra Toll. Astra Toll berhasil menguasai seluruh saham PT JMJ setelah mengajukan penawaran tertinggi senilai Rp658,8 miliar. Akuisisi saham PT JMJ oleh Astra Toll juga menjadi babak baru pengelolaan JORR W2 Ulujami-Kebon Jeruk.
Pasalnya, PT JMJ adalah pemilik 35 saham PT Marga Lingkar Jakarta (PT MLJ) dengan konsesi 30 tahun. PT MLJ mengelola Jalan Tol JORR W2 (Ulujami - Kebon Jeruk).
Pada awalnya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk atau JSMR menguasai 65 persen saham PT MLJ. Sementara Astra Toll sebesar 35 persen lewat PT JMJ. Namun pada tahun 2021, JSMR menjual 14 persen sahamnya ke PT JMJ. Alhasil porsi saham JSMR di PT MLJ melorot menjadi 51 persen. Sedangkan kepemilikan saham PT JMJ di PT MLJ naik jadi 49 persen.
Divestasi Bikin Boncos?
BPK menyebutkan penjualan saham PT JMJ berpotensi mengakibatkan kekurangan pendapatan antara Rp329,1 miliar hingga Rp400-an miliar.
Kekurangan pendapatan itu terjadi karena penghitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) terhadap nilai pasar PT JMJ sebesar Rp642,1 miliar tidak wajar.
Menurut BPK, nilai pasar PT JMJ jika dihitung ulang dengan menggunakan tarif pajak yang sesuai dan data traffic UP2M, serta DCF 80 persen dan P/BV 20 persen maka nilai Pasar PT JMJ seharusnya Rp1,3 triliun atau hampir dua kali lipatnya dari penghitungan yang dilakukan oleh KJPPR.
DCF atau dicounted cash flow atau arus kas terdiskon adalah metode menghitung valuasi saham menggunakan Future Free Cash Flow (FFCF) dan diskon Weighted Average Cost of Capital (WACC) untuk mendapatkan nilai di masa depan yang potensial dalam melaksanakan investasi.
Sementara P/BV atau Price to Book Value adalah rasio yang digunakan untuk membandingkan harga saham dengan nilai buku perusahaan.
Artinya, jika JIP (anak usaha Jakpro) memiliki 51 persen saham, maka nilai saham PT JMJ yakni 51 persen seharusnya senilai Rp665 miliar. Namun setelah divestasi, PT JIP hanya memperoleh pendapatan senilai Rp335,9 miliar atau ada selisih Rp329,1 miliar.
Nilai selisih tersebut lebih besar jika menggunakan skema DCF senilai 100 persen. Pasalnya dengan skema tersebut nilai pasar PT JMJ adalah senilai Rp1,5 triliun. Apabila nilai saham JIP di JMJ senilai 51 persen, nilai pasar PT JMJ (Jakpro) seharusnya Rp784,8 miliar.
Namun karena terjadi indikasi kesalahan mekanisme penghitungan sejak awal, maka ada potensi kekurangan pendapatan dari proses divestasi saham PT JMJ senilai Rp458,8 miliar.
Nilai saham yang dilepas JakPro melalui Jakarta Infrastruktur Propertindo ke Astra Toll pada waktu itu mencapai 51 persen saham atau 125.687.844 lembar senilai Rp322,2 miliar.
Sementara itu, laporan keuangan PT Jakarta Infrastruktur Propertindo tahun 2020 memaparkan bahwa harga pelepasan saham PT JMJ pada waktu itu senilai Rp335,58 miliar. Dari harga pelepasan saham tersebut, perseoran mencatat memperoleh laba atas pelepasan bisnis senilai Rp232,8 miliar.
PT JIP juga menyatakan bahwa penjualan PT JMJ berhasil mengerek kinerja pendapatan usaha perseroan hingga 463,1 persen atau senilai Rp119,5 miliar. Tahun 2019, pendapatan usaha PT JIP hanya 21,22 milar.
BPK telah meminta pihak Pemprov DKI supaya melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas penjualan saham PT JMJ.
Bisnis telah meminta konfirmasi pihak Jakpro terkait masalah ini. Namun lagi-lagi mereka belum memberikan jawaban hingga berita ini dipublikasikan.
Adapun, Kepala BP BUMD DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono menjelaskan bahwa terkait penjualan aset, Jakpro telah memberikan tanggapan kepada BPK. Dia juga telah mendorong Jakpro untuk menindaklanjuti temuan BPK itu. Nasruddin menegaskan bahwa pada prinsipnya, BP BUMD selalu mendorong semua BUMD untuk menjalankan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.
"Kami juga meminta pendampingan dari pihak eksternal sehingga diharapkan mitigasi risiko terdeteksi dan perusahaan dapat mengambil langkah yang tepat dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku."