Bisnis.com, JAKARTA - Bau anyir pada proyek pembangunan menara pemancar atau base transreceiver station (BTS) 4G semakin tercium dalam persidangan kasus korupsi, yang diduga merugikan negara Rp8,03 triliun.
Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, satu per satu saksi mengungkap berbagai dugaan yang mengarah ke potensi maladministrasi proyek senilai triliunan rupiah itu.
Pada persidangan, Selasa (1/8/2023), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga orang saksi pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yakni Kasubdit Monitoring dan Evaluasi Jaringan Telekomunikasi Indra Apriadi, Kepala Biro Perencanaan Arifin Saleh Lubis, serta Auditor Utama Inspektorat Jenderal (Irjen) Kominfo Doddy Setiadi.
Setiap saksi yang dihadirkan itu setidaknya mengetahui atau turut mengawasi jalannya proyek BTS 4G sedari perencanaan, lelang, hingga pembangunan. Seperti diketahui, proyek BTS 4G itu berada di bawah tanggung jawab Badan Layanan Umum (BLU) Bakti Kominfo.
Ketiga saksi diperiksa secara langsung dan bersamaan untuk terdakwa Dirut Bakti Anang Achmad Latif, mantan Menkominfo Johnny G Plate, dan Tenaga Ahli Hudev UI Yohan Suryanto.
Sejatinya para saksi diperiksa pada pekan lalu, namun diundur lantaran persidangan untuk saksi sebelumnya berlangsung terlalu lama.
Baca Juga
"Tiga orang kita satukan saja [pemeriksaannya] karena saling berhubugan antara satu dengan yang lain. Jadi bisa dikonfrontasi sekalian, jadi kita tidak bolak-balik," kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (1/8/2023).
Satu per satu, saksi itu pun dicecar soal pelaksanaan proyek dari perencanaan, lelang, hingga pengerjaannya di lapangan. Misalnya, saat ditanyai terkait dengan perencanaan anggaran proyek, saksi Kepala Biro Perencanaan Arifin Saleh Lubis menjelaskan bahwa ada perubahan pola pengadaan BTS 4G.
Dia menyebut pada RPJMN yang menjadi acuan sejak sebelum Kabinet Indonesia Maju, pengadaan BTS 4G ditargetkan sebanyak 5.052 menara dengan pagu anggaran Rp1 triliun. Pola yang diterapkan awalnya yakni pengadaan sewa jasa, di mana operator telekomunikasi yang menjalankan BTS tersebut.
Pemerintah, sebagai penyedia anggaran, hanya memberikan subsidi pada biaya operasional yang dikucurkan oleh operator. Kemudian, Bakti Kominfo mengajukan kepada Menteri Kominfo Johnny G. Plate agar pola sewa jasa itu dirubah ke pola belanja modal (capital expenditure/capex), di mana nantinya BTS yang dibangun akan menjadi milik aset negara melalui Bakti.
Targetnya pun dirubah menjadi 4.200 BTS 4G di lebih dari 7.000 daerah 3T pada 31 Desember 2021. Konsekuensinya, anggaran pun melonjak dari Rp1 triliun menjadi sekitar Rp12,5 triliun. Pengajuan anggaran Rp12,5 triliun itu dicanangkan pada 2020 untuk tahun anggaran (TA) 2021.
Namun demikian, dia menyebut proyek molor dari target 31 Desember 2021. Dari target 4.200 BTS 4G, baru 1.695 menara yang dibangun per Maret 2022. Padahal, anggaran Rp12,5 triliun itu sudah dicairkan.
"Harusnya 4.200 [BTS] selesai bulan Desember [2021]. Berdasarkan laporan yang kita di Patuh [sistem pemantauan], tidak [selesai]," kata Arifin.
Dugaan Mark-up
Pada kesempatan yang sama, Auditor Utama Inspektorat Jenderal (Itjen) Kominfo Doddy Setiadi mengakui adanya kenaikan harga barang yang dilakukan secara sengaja (mark up).
Hal tersebut diakui setelah JPU bertanya kepada Doddy mengenai surat Itjen kepada BLU Bakti Kominfo. Surat itu berisi laporan progres tahap kedua proyek dan permintaan tanggapan atas hasil monitoring dan evaluasi (monev) penyediaan BTS 4G beserta infrastruktur pendukungnya.
Salah satu poin laporan yang dibacakan, yakni adanya potensi kemahalan harga perangkat BTS dan infrastruktur pendukung.
"Saya minta saudara menjelaskan bagaimana anda menentukan dan menemukan [potensi kemahalan] harga pada proyek Bakti ini?," tanya JPU kepada Doddy.
Menanggapi pertanyaan JPU terkait dengan surat Itjen itu, Doddy mengatakan bahwa temuan itu berdasarkan hasil komparasi antara data harga bill of quantity (BOQ) dan besaran yang dibayarkan penyedia ke subkontraktor (subkon).
Hasilnya, terang Doddy, timnya menemukan adanya indikasi potensi kemahalan harga. Indikasi itu lalu dicantumkan dalam laporan yang diberikan kepada Bakti Kominfo di bawah kepemimpinan Anang Achmad Latif, salah satu terdakwa kasus BTS 4G.
"Tim kami akhirnya mengindikasi adanya potensi kemahalan harga itu Pak Jaksa, dan itu yang menjadi bagian laporan kami yang disampaikan," terangnya.
Dalam laporan yang menjadi pertanyaan jaksa, beberapa pengadaan yang disebut memiliki indikasi kemahalan di antaranya seperti penyediaan Network Management System (NMS) VSAT. Berdasarkan temuan Itjen, pengadaannya terindikasi kemahalan harga 366 persen dari biaya yang dibayarkan ke subkon.
"Di sini ada juga tentang kemahalan harga di BOQ Rp300 juta, tetapi penyedia membeli [ke subkon] Rp65 juta. Harga yang ditawarkan penyedia Rp350 juta, ternyata penyedia beli ke PO hanya Rp65 juta," lanjut JPU.
Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri lalu menegaskan kembali pertanyaan JPU kepada Doddy. Dia bertanya apakah indikasi kemahalan harga itu merupakan praktik mark up.
"Saya sudah tanya tadi tentang mark up. Ada mark up tidak? Jawabnya 'tidak'. Ternyata ada surat [Itjen Kominfo ke Bakti] itu terungkap. Kemahalan itu artinya apa?," tanya Fahzal kepada Doddy.
Usai ditanya beberapa kali, Doddy lalu mengamini pertanyaan Ketua Majelis Hakim bahwa indikasi kemahalan harga itu berpotensi sebagai praktik mark up.
"Potensi mark up. Bisa [disebut] demikian," jawab Doddy.