Bisnis.com, JAKARTA -- Saksi dalam sidang kasus korupsi BTS 4G menyebut adanya kesengajaan untuk menaikkan harga barang secara sengaja yang berpotensi sebagai praktik mark up sejak awal perencanaan proyek.
Temuan Inspektorat Jenderal (Irjen) Kominfo, proyek BTS terindikasi kemahalan harga 366 persen dari biaya yang dibayarkan ke subkontraktor.
Sekadar informasi, sidang kasus BTS Kominfo dengan terdakwa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menghadirkan saksi Auditor Utama Inspektorat Jenderal (Itjen) Kominfo Doddy Setiadi. m
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) mencecar Doddy mengenai surat Itjen kepada BLU Bakti Kominfo.
Surat itu berisi laporan progres tahap kedua proyek dan permintaan tanggapan atas hasil monitoring dan evaluasi (monev) penyediaan BTS 4G beserta infrastruktur pendukungnya. Salah satu poin laporan yang dibacakan, yakni adanya potensi kemahalan harga perangkat BTS dan infrastruktur pendukung.
"Saya minta saudara menjelaskan bagaimana anda menentukan dan menemukan [potensi kemahalan] harga pada proyek Bakti ini?," tanya JPU kepada Doddy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (1/8/2023).
Baca Juga
Menanggapi pertanyaan JPU terkait dengan surat Itjen itu, Doddy mengatakan bahwa temuan itu berdasarkan hasil komparasi antara data harga bill of quantity (BOQ) dan besaran yang dibayarkan penyedia ke subkontraktor (subkon).
Hasilnya, terang Doddy, timnya menemukan adanya indikasi potensi kemahalan harga. Indikasi itu lalu dicantumkan dalam laporan yang diberikan kepada Bakti Kominfo di bawah kepemimpinan Anang Achmad Latif, salah satu terdakwa kasus BTS 4G.
"Tim kami akhirnya mengindikasi adanya potensi kemahalan harga itu Pak Jaksa, dan itu yang menjadi bagian laporan kami yang disampaikan," terangnya.
Dalam laporan yang menjadi pertanyaan jaksa, beberapa pengadaan yang disebut memiliki indikasi kemahalan di antaranya seperti penyediaan Network Management System (NMS) VSAT. Berdasarkan temuan Itjen, pengadaannya terindikasi kemahalan harga 366 persen dari biaya yang dibayarkan ke subkon.
"Di sini ada juga tentang kemahalan harga di BOQ Rp300 juta, tetapi penyedia membeli [ke subkon] Rp65 juta. Harga yang ditawarkan penyedia Rp350 juta, ternyata penyedia beli ke PO hanya Rp65 juta," lanjut JPU.
Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri lalu menegaskan kembali pertanyaan JPU kepada Doddy. Dia bertanya apakah indikasi kemahalan harga itu merupakan praktik mark up.
"Saya sudah tanya tadi tentang mark up. Ada mark up tidak? Jawabnya 'tidak'. Ternyata ada surat [Itjen Kominfo ke Bakti] itu terungkap. Kemahalan itu artinya apa?," tanya Fahzal kepada Doddy.
Usai ditanya beberapa kali, Doddy lalu mengamini pertanyaan Ketua Majelis Hakim bahwa indikasi kemahalan harga itu berpotensi sebagai praktik mark up.
"Potensi mark up. Bisa [disebut] demikian," jawab Doddy.
DATA TAK VALID
Pada kesempatan yang sama, JPU turut bertanya kepada saksi Kasubdit Monitoring dan Evaluasi Jaringan Telekomunikasi Indra Apriadi.
JPU bertanya kepada Indra soal temuan Itjen Kominfo bahwa dari 7.904 lokasi 3T yang akan dibangun BTS 4G, sebanyak 831 lokasi sudah terjangkau oleh sinyal 4G. Laporan Itjen itu juga disebut menemukan bahwa sebanyak 301 lokasi sebelumnya sudah memiliki BTS dengan skema sewa layanan.
Indra pun mengakui bahwa data 7.904 lokasi yang akan dipasang BTS 4G oleh Bakti itu tidak valid. Oleh sebab itu, Hakim Ketua Fahzal menanyakan alasan Indra untuk memberikan data yang tidak valid itu ke Bakti Kominfo. Apalagi, data mengenai 7.904 lokasi 3T itu menjadi acuan bagi penyedian pagu anggaran proyek.
"[Data] 7.904 [daerah 3T] itu yang dijadikan dasar untuk pengajuan anggaran, sedangkan datanya belum valid. Apakah ada yang buru-buru minta [datanya] supaya ini harus tahu berapa ttik yang akan diusulkan?," tanya Hakim Ketua Fahzal kepada Indra.
Indra lalu menjelaskan bahwa data yang disampaikan itu hasil dari analisis dengan sejumlah pertimbangan. Analisis itu juga, lanjutnya, dilengkapi dengan prediksi keterjangkauan (coverage prediction).
Namun demikian, Hakim Ketua Fahzal merasa tak puas atas jawaban Indra. Dia lalu menegaskan pertanyaannya beberapa kali terkait dengan siapa yang mendesak penyerahan data tak valid tersebut.
"Siapa yg mendesak saudara? Data yang tidak valid itu segera diserahkan ke Bakti. Siapa yg mendesak saudara?," desak Fahzal.
Usai didesak untuk menjawab, Indra pun mengaku bahwa penyerahan data yang tidak valid itu merupakan instruksi dari Dirut Bakti saat itu, Anang Achmad Latif. Anang merupakan salah satu dari terdakwa kasus korupsi BTS 4G.
"Pada saat itu yang minta saya langsung Pak Anang," jawab Indra kepada Majelis Hakim.
Adapun pada persidangan kasus BTS hari ini, tiga orang saksi dihadirkan yaitu Kasubdit Monitoring dan Evaluasi Jaringan Telekomunikasi Indra Apriadi, Kepala Biro Perencanaan Arifin Saleh Lubis, serta Auditor Utama Inspektorat Jenderal (Irjen) Kominfo Doddy Setiadi.
Ketiga saksi diperiksa secara langsung dan bersamaan untuk terdakwa Anang Achmad Latif, Johnny G Plate, dan Yohan Suryanto hari ini, Selasa (1/8/2023). Ketiga saksi itu sebelumnya dijadwalkan untuk diperiksa pada pekan lalu, namun diundur lantaran persidangan untuk saksi sebelumnya berlangsung terlalu lama.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mendakwa perbuatan sebanyak tujuh orang terdakwa termasuk Anang, Johnny, dan Yohan, merugikan keuangan negara hingga Rp8,03 triliun. Angka itu didapatkan dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).