Bisnis.com, JAKARTA – Ketika bos tentara bayaran Wagner Yevgeny Prigozhin memimpin pemberontakannya yang singkat pada 24 Juni 2023, banyak pengamat memusatkan perhatian pada dampak menantang Kremlin secara politik dibanding melihat bagaimana reaksi otoritas Rusia merusak sistem hukum negara, menurut ahli hukum dari Rusia, Maxim Krupskiy
Pada 24 Juni 2023, ketika Grup Wagner tampaknya akan berjalan menuju Moskow, Biro Keamanan Federal Rusia secara resmi mengumumkan pembukaan penyelidikan berdasarkan Pasal 279 KUHP yang menuntut pemberontakan bersenjata.
Kejahatan itu sangat berat di bawah KUHP Rusia yang dapat dihukum penjara mulai dari 12 hingga 20 tahun. Namun, hanya beberapa jam setelah dibuka, kasus itu ditutup.
Sebagai hasil dari negosiasi, Prigozhin mengakhiri pemberontakan sekitar 200 kilo meter (km) dari Moskow. Sebagai imbalannya, penyelidikan atas tindakan pemberontakannya dibatalkan dan Prigozhin diberikan izin masuk ke Belarusia. Kasus pidana secara resmi dibatalkan pada 27 Juni dalam pengumuman oleh Biro Keamanan Federal.
Rusia telah lama kehilangan statusnya sebagai negara yang diatur oleh aturan hukum.
Sejak invasi ke Ukraina, Rusia telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) besar-besaran dan represi sistematis terhadap pembela HAM dan aktivis oposisi.
“Merusak” Putinisme
Dilansir dari The Conversation, Selasa (18/7/20230, Rusia di bawah Vladimir Putin semakin banyak menggunakan praktik hukum represif dengan kedok melindungi keamanan nasional.
Presiden Rusia berjanji bahwa semua yang bertanggung jawab akan dihukum dan menyebut tindakan mereka sebagai pengkhianatan.
Karena pengkhianatan di bawah KUHP Rusia mengacu pada mereka yang membelot ke musuh, tuduhan semacam itu tidak berlaku. Sebaliknya, proses pidana dibuka berdasarkan pasal tentang pemberontakan bersenjata.
Meskipun demikian, Putin pada awalnya mengirimkan sinyal yang jelas bahwa tindakan Prigozhin tidak hanya dipandang sebagai kejahatan sangat serius yang akan diperlakukan seperti itu, tetapi juga sebagai ancaman mematikan bagi kenegaraan Rusia.
Kegagalan untuk melanjutkan retorika semacam itu merusak citra lama Putin sebagai seseorang yang menolak bernegosiasi dengan penjahat ketika diberi ultimatum.
Kebijakan seperti itu telah menjadi standar Putin sejak dia berkuasa. Kemudian, dengan latar belakang perang di Chechnya, Rusia menghadapi sejumlah besar serangan teroris. Alih-alih bernegosiasi, Putin akan mengejar kebijakan untuk menghancurkan mereka yang menyerang negara Rusia.