Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai Mahkamah Konstitusi (MK) inkonsisten setelah mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun.
Arsul menjelaskan, beberapa waktu lalu ada warga yang mengajukan uji materiil UU No. 7/2020 (UU MK) terkait aturan usia hakim MK. Hasilnya, MK menolak uji materi itu karena dianggap termasuk kebijakan pembentuk UU atau open legal policy.
Dalam Pasal 87 UU MK disebutkan hakim MK bisa menjabat hingga 15 tahun dengan catatan umurnya tak boleh dari 70 tahun. Artinya, jika seorang hakim MK belum menjabat selama 15 tahun tapi sudah berumur 70 tahun maka dia harus pensiun.
“Nah tiba-tiba di sini di dalam pertimbangan putusan itu [masa jabatan pimpinan KPK] bicara soal keadilan terkait dengan masa jabatan,” ujar Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2023).
Dalam pertimbangannya, MK merasa jabatan 4 tahun para pimpinan KPK bertentangan dengan prinsip keadilan. Alasannya adalah pimpinan lembaga negara seperti Komnas HAM, OJK, ORI, LPSK, BPK, dan sejenisnya punya masa jabatan 5 tahun.
“Tapi kenapa MK yang 15 tahun tidak menilai bahwa itu juga tidak adil dibandingkan dengan masa jabatan yang ada di lembaga negara lain?” lanjut Arsul.
Baca Juga
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini inkonsistensi MK menjadi sangat tampak saat memutuskan suatu perkara. Arsul khawatir, hakim MK sudah tak objektif karena disusupi kepentingan tertentu dalam memutuskan suatu perkara.
“Ini menimbulkan pertanyaan, apakah sebagian hakim kita itu masih negarawan atau sudah sama seperti politisi kami di DPR ini jadinya? Bisa berubah-ubah karena ada kepentingan politik, ada kepentingan kelompok, ada kepentingan pribadi ya, maka putusannya kemudian standarnya berbeda gitu loh,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang menjadi 5 tahun. Hal tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan gugatan terhadap Undang-undang (UU) No.30/2022 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam putusannya, MK menilai sistem perekrutan pimpinan lembaga antirasuah selama empat tahun membuat kinerja mereka dinilai dua kali oleh presiden dan DPR. Oleh karena itu, mekanisme tersebut dinilai bisa mengancam independensi KPK.
Hal tersebut lantaran presiden dan parlemen bisa memiliki wewenang untuk melakukan seleksi hingga rekrutmen sebanyak dua kali dalam periode atau masa jabatan pimpinan KPK.
"Mengadili, mengabulkan, permohonan pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, dikutip dari siaran YouTube MK, Kamis (25/5/2023).