Bisnis.com, JAKARTA- Proyek Global Security Initiative (GSI, Inisiatif Keamanan Global) yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping, perlu diwaspadai dan disikapi secara hati hati baik oleh Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara yang lain.
Pernyataan ini disampaikan oleh Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), dalam seminar berjudul “Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara,” pada akhir pekan lalu.
Selain Johanes, yang juga Dosen asal Universitas Pelita Harapan Jakarta, hadir pula Sofwan Al Bana, Ph.D, pakar Hubungan Internasional asal Universitas Indonesia, Depok. Bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut adalah Muhammad Farid, M. PA., pemerhati Hubungan Internasional dari President University, Cikarang.
Menurut pemaparan Sofwan, GSI yang merupakan proyek keamanan global gagasan RRC ini dilandasi oleh beberapa prinsip utama, yaitu memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan. Selain itu, proyek inipun harus menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara, serta setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Lebih lanjut, proyek keamanan bersama itu harus memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara. Prinsip lainnya yaitu menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog maupun konsultasi, hingga berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional.
Menurut Sofwan, GSI sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema yang telah berlangsung sejak 2010. China yang dulu menyembunyikan kuku, kini merasa sudah kuat dan mulai menunjukan kuku dan taringnya, bukan untuk menakuti nakuti negara-negara di sekitarnya, tetapi untuk mencegah terjadinya perang.
Baca Juga
China menyampaikan kepada status quo, AS bahwa kebangkitannya tak terhentikan. “Bukan berarti China ingin menghabisi kekuatan status quo, tetapi meminta agar mereka memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” tuturnya.
Sementara itu, Johanes menyampaikan catatan tambahan dengan menekankan bahwa GSI juga menekankan penolakan RRC pada “mentalitas Perang Dingin,” unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme. Namun, prinsip-prinsip China di atas menuai kritik dan dianggap sekadar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional Cina.
“Sebagai contoh, Dr. Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur pada Centre for Security, Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, menganggap China memperlihatkan kemunafikan karena mengajukan prinsip prinsip yang telah mereka langgar sendiri,” tutur Johanes, dikutip pada Selasa (9/5/2023).
Rajagopalan merujuk pada konflik yang sering mewarnai sengketa perbatasan antara China dan India. “Sebagai contoh dari tindakan China yang bertentangan dengan prinsip prinsip yang mereka gagas di atas,” lanjut Johanes.
Dalam pandangan Johanes, sikap China di seputar Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan kenyataan.
Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam satu dasawarsa terakhir. Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China.
“Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS. Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna,” tutur Johanes.