Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jalan Panjang Pemilu Lima Tahunan

Putusan penundaan pemilu yang dilakukan oleh PN Jakarta Pusat mengancam pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan.
Anggota Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) menempelkan stiker tanda sudah dilakukan pencocokan dan penelitian (Coklit) pemilih di rumah warga di Kelurahan Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (28/2/2023). Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat hingga kini telah melakukan pemutakhiran data pemilih melalui Coklit dengan menjangkau lebih dari 80 persen dari daftar pemilih sementara sehingga kegiatan itu dipastikan bisa selesai sesuai jadwal yaitu pada 15 Maret mendatang. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym
Anggota Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) menempelkan stiker tanda sudah dilakukan pencocokan dan penelitian (Coklit) pemilih di rumah warga di Kelurahan Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (28/2/2023). Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat hingga kini telah melakukan pemutakhiran data pemilih melalui Coklit dengan menjangkau lebih dari 80 persen dari daftar pemilih sementara sehingga kegiatan itu dipastikan bisa selesai sesuai jadwal yaitu pada 15 Maret mendatang. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym

Bisnis.com, JAKARTA – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan tahapan Pemilu 2024 pada Kamis (2/3/2023), membuat heran banyak pihak.

Putusan itu secara terang benderang mengancam siklus pesta demokrasi yang berlangsung lima tahunan.

Salah satu poin amar putusan PN Jakpus meminta KPU untuk tak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

"Menghukum Tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," bunyi salah satu poin putusannya seperti dilansir dari situs PN Jakpus.

Artinya, sesuai putusan itu, KPU harus memulai tahapan pemilu dari awal lagi pada Juli 2025. Siklus pemilu lima tahunan yang sudah diatur lewat UUD 1945 akhirnya terancam rusak untuk pertama kali sejak Era Reformasi dimulai pada 1998.

Dilihat dari sejarahnya, perjuangan untuk menetapkan pemilu lima tahunan memang tak mudah. Disari dari Buku 5 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2010), jalan panjang penetapan pemilu lima tahun sudah dimulai sebelum kemerdekaan.

Saat itu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memperdebatkan perihal corak kepemimpinan di negara baru Indonesia.

Saat itu, salah seorang anggota BPUPKI, S. Tirtopratodjo mengusulkan adanya Kepala Negara yang dipilih untuk masa jabatan lima tahun dan sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh Badan Perwakilan Rakyat.

Sepertinya, itu merupakan usulan pertama terkait pemilihan pemimpin dengan siklus lima tahunan. Tampaknya, usulan Tirtopratodjo menginspirasi lahirnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan:

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

Pemilu pertama sendiri direncanakan akan diadakan pada Januari 1946. Rencana itu tertulis dalam Maklumat Wakil Presiden pada 3 November 1945.

Namun rencana itu tak terlaksana hingga pada akhirnya pemilu pertama di Indonesia terjadi pada 1955. Setelahnya, siklus penyelenggaraan pemilu tetap tak jelas, terutama sejak Indonesia masuk ke masa Demokrasi Terpimpin pada 1959.

Era Orde Baru

Memasuki Era Orde Baru pada 1966, desakan penyelenggaraan pemilu makin terasa. Namun, lamanya perencanaan UU Pemilu yang baru membuat pemilu kedua baru terjadi pada 1971.

Setelah Pemilu 1971, pelaksanaan pemilu dilaksanakan enam tahun berikutnya yaitu pada 1977. Setelah Pemilu 1977, pemilu akhirnya dilaksanakan secara periodik dan teratur selama lima tahun sekali. Selanjutnya, diadakan Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997.

Reformasi pada 1998 membuat siklus lima tahunan sedikit berubah. Akibat Reformasi 1998, MPR sepakat untuk melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945.

Sebelumnya, pemilu periodik lima tahunan tak ada diatur dalam UUD 1945. Namun, amandemen UUD 1945 yang dimulai pada 1999 dan berakhir pada 2002 menyepakati aturan pemilu lima tahunan harus diatur dalam konstitusi.

Meski begitu, terjadi perdebatan panjang saat ingin memasukkan aturan itu. Persoalan periode pemilu pertama kali dibahas pada pembahasan masa amandemen kedua pada 2000.

Saat itu, ada usulan dari perwakilan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Juru Bicara PHDI Ida Bagus Gunadha mengusulkan pemilu diadakan setiap lima tahun sekali.

Selain itu, PHDI memasukkan usulan agar pemilu dijadikan sebagai wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Bunyi usulan mereka untuk Pasal 1 ayat (2) yaitu: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat yang dilakukan melalui pelaksanaan pemilihan umum yang jujur dan adil setiap lima tahun sekali."

Meski begitu, Slamet Effendy Yusuf dari Fraksi Partai Golkar berpendapat adanya cacat logika dari usulan PHDI, yang seakan mencerminkan kedaulatan rakyat hanya ada saat pemilu yang berlangsung lima tahun sekali. Padahal, rakyat berdaulat selalu. 

Kemudian, disetujui adanya bab khusus mengenai pemilihan umum. Dalam pembahasannya, Juru Bicara Fraksi Reformasi A.M. Luthfi mengusulkan ayat (1) dalam bab berjudul Pemilihan Umum itu berbunyi: "Pemilihan umum pada dasarnya dilaksanakan setiap lima tahun sekali."

Namun, Juru Bicara Fraksi TNI/Polri Hendi Tjaswadi tak setuju jika ada patokan jangka waktu tertentu untuk periode pemilu. Menurutnya, pemilu tak boleh dibatasi hanya lima tahun sekali dan tak ada yang lain. Hendi berpendapat, harus dibuka peluang pelaksanaan pemilu selain pemilu yang periodik.

Usulan 5 Tahunan

Juru Bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ali Hardi Kiaidemak setuju dengan Hendi. Ali pun mengusulkan pemilu dilaksanakan “sekurang-kurangnya” lima tahun sekali.

Dengan begitu, menurutnya, ada pengeculian pelaksanaan pemilu sesuai dengan kebutuhan yang terjadi dalam kehidupan bernegara ataupun yang terjadi dalam kehidupan demokrasi di daerah. Beberapa fraksi lain juga sepakat dengan adanya fleksibilitas soal pelaksanaan pemilu, tak hanya lima tahun sekali.

Meski begitu, Sutjipto dari Fraksi Utusan Golongan melakukan perlawanan keras. Dia menekankan pentingnya konsistensi periode penyelenggaraan pemilu. Dia merasa pemilu lima tahunan perlu diatur dalam konstitusi.

Dengan begitu, dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD, tak ada yang bisa mengatur pemilu diadakan misalnya tiga tahun sekali. “Jadi ada ketentuan karena kita konsisten sebut lima tahun,” ujar Sutjipto.

Pataniari Siahaan dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) kembali membahas pentingnya klausa yang memungkinkan diadakan pemilu dadakan jika terjadi suatu yang tak diinginkan.

“[Pentingnya] satu ayat yang escape clausule misalnya bom nuklir mati sekaligus presiden wakil presiden. Itu bisa diatur Pak. Nah, jadi mungkin ada pemilihan yang di luar lima tahun. Seandainya,” jelas Pataniari.

Sutjipto bersikeras perlunya mengatur periode pemilu untuk jangka waktu lima tahun. Imam Addaruquthni dari Fraksi Reformasi kembali mengusulkan ditambahkan kata “selambat-lambatnya” atau frasa “sekurang-kurangnya lima tahun sekali” dalam ketentuan periode pemilu.

Akhirnya, semua peserta sepakat isi dalam Pasal 22 F ayat (1) Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dengan bunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Namun, dalam pembahasan masa amandemen ketiga pada 2001, Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi kembali mengusulkan agar ayat (1) itu diberi tambahan redaksi menjadi: “Pemilihan Umum merupakan wujud kedaulatan rakyat yang dilaksanakan selambat-lambatnya lima tahun sekali.“

Dia kembali mengusulkan persoalan lama. Terkait penambahan kata “selambat-lambatnya”, Patrialis berpendapat itu perlu agar pemilu dapat dilaksanakan sebelum lima tahun ketika ada keperluan mendesak.

Katin Subyantoro dari Fraksi PDIP menolak usulan penambahan kata “selambat-lambatnya” itu. Dia berpendapat harus ada patokan untuk menentukan pergantian pemimpin bangsa dan perwakilan rakyat.

“Kalau ditambahkan selambat-lambatnya atau mungkin bisa tidak lima tahun, itu juga ada kemungkinan dibalik itu ada kemungkinan tiap tahun kita melakukan Pemilu atau tiap dua tahun atau, apakah negara kita akan kita atur semacam itu?” jelas Katin.

Dia mengatakan ‘keperluan mendesak’ tak bisa dijadikan alasan untuk mempercepat pemilu. Justru, lanjutnya, dengan adanya patokan periode pemilu maka pemerintah bisa mulai menata negara dengan suatu kepastian.

Katin menegaskan, UUD tak boleh memberi peluang untuk ketidakpastian. Dengan begitu, diharapkan kejadian seperti percepatan Pemilu 1999 yang seharusnya dilakukan pada 2002 bisa dihindari.

PDIP Mendukung

Frans F.H. Matrutty dari Fraksi PDIP kemudian mendukung penetapan kepastian pemilu lima tahunan dalam UUD. Dia mengatakan, jika pun nantinya pemilu diharuskan dipercepat ataupun diperlambat maka syarat-syaratnya diatur dalam UU saja, bukan UUD.

“Misalnya diperlambat apa, menjadi lambat itu karena force major seperti bencana alam yang menyangkut lebih dari 50 persen wilayah ini, itu total tak bisa dilaksanakan pemilihan tepat pada waktunya. Itu kita harus melihat yang ini suatu force major dan menurut hemat saya ini jangan dimasukkan di dalam rumusan ini, tapi dimasukkan di dalam undang-undang yang menyangkut Pemilu sebagai lex specialis-nya itu,” jelas Frans.

Akhirnya, hasil pembahasan materi pemilu, termasuk soal periodenya, disahkan pada sidang tahunan MPR 2001 dalam rangka perubahan UUD 1945. Pasal 22 E ayat (1) berbunyi:

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Sedangkan ayat (2) diatur pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden.

Sejak itu, pemilu secara periodik berlangsung. Setidaknya, kita sudah empat kali menjalani pemilu lima tahunan yang teratur yaitu pada 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Meski demikian, putusan PN Jakpus pada pekan lalu buat banyak pihak wanti-wanti apakah ketetapan amanah UUD 1945 akan tetap berlanjut. KPU sendiri akan melakukan banding putusan PN Jakpus ke Pengadilan Tinggi pada Jumat (10/3/2023).

Sepertinya, nasib pemilu lima tahunan akan ditentukan oleh putusan Pengadilan Tinggi terkait banding KPU nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper