Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengakui sejumlah kejahatan berat yang dilakukan negara pada masa lalu. Ada 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang disorot. Salah satunya adalah peristiwa pembunuhan massal tahun 1965 - 1966.
Tahun 1965 - 1966 adalah tahun paling kelam dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu hingga jutaan orang diperkirakan terbunuh. Sementara ribuan lainnya dibuang ke tempat pengasingan. Khusus laki-laki mereka dibawa ke Pulau Buru. Sementara yang perempuan sebagian ditempatkan di kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah.
Para tahanan politik tersebut dipaksa membabat lahan, disiksa para penjaga, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Di antara para tahanan politik yang dibuang pemerintah militer, Orde Baru Soeharto, ada nama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram, begitu sapaan karibnya, seperti tahanan lainya tak memiliki keistimewaan. Dia tak lepas dari kewajiban kerja paksa. Konon kisah di Pulau Buru mengilhami dirinya menulis karyanya yang monumental yakni Tetralogi Buru.
Aksi pembersihan 'terhadap' orang-orang yang dianggap komunis dan Sukarnois memang berlangsung cukup massif. Di berbagai daerah terjadi pembantaian. Ladang pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap komunis itu terbentang di berbagai penjuru. Paling parah tentu kawasan eks Karesidenan Surakarta, Mataraman Jawa Timur, Banyuwangi, hingga Bali.
Empat kawasan yang disebutkan di atas adalah basis pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah kader PKI bahkan menjadi kepala daerah di sejumlah daerah tersebut. Wali Kota Solo Oetomo Ramlan adalah salah satunya. Dia menjabat sebagai Wali Kota Solo pada tahun 1958 sampai dengan kematiannya usai diciduk tentara pada 1965.
Baca Juga
Selain Oetomo Ramlan, ada nama Anak Agung Bagus Sutedja yang menjabat sebagai Gubernur Bali. Sama dengan Oetomo, nasib Anak Agung Bagus Sutedja juga tidak jelas usai peristiwa 1965 yang menurut versi resmi pemerintah Orde Baru adalah kudeta PKI.
Soal berapa jumlah korban, sampai sekarang belum ada angka pasti. Setiap kubu memiliki versinya masing-masing. Robert Crib, seorang peneliti asal Australia dalam buku The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa Bali 1965-1966 memperkirakan 500.000 hingga 3 juta warga negara Indonesia tewas selama aksi pembersihan tersebut.
Sementara versi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), salah satu alat pemukul milik Orde Baru untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan, mencatat sekitar 450.000 dan 500.000 nyawa yang melayang.
Terlepas versi mana yang benar, beredarnya angka korban tersebut adalah bukti bahwa aksi pembunuhan terhadap orang komunis maupun yang diaggap komunis berlangsung massif. Sayangnya upaya mengungkap dan mengadili dalang di balik peristiwa itu selalu mentok karena alasan politis. Upaya rekonsiliasi juga terhambat karena kedua kubu merasa memiliki luka pada masa lalu.
Langkah progresif pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur saat dia memerintah telah secara terbuka meminta maaf atas pembantaian pada tahun 1965-1966. Permintaan maaf Gus Dur selain mewakili negara juga NU. Pihak yang juga menjadi korban dalam ontran-ontran politik .
Tak sekadar meminta maaf, Gus Dur bahkan ingin mencabut TAP MPRS XXV/1966. Ketetapan MPRS ini melarang PKI dan organisasi afiliasinya. Namun belum sempat niat itu terlaksana, Gus Dur terlebih dahulu dilengserkan oleh DPR.
Upaya untuk merekonsiliasi masa lalu jalan di tempat. Bahkan sampai sekarang sentimen anti komunis dan diskriminasi terhadap orang yang sebenarnya sudah tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa 1965 masih sangat kuat.
Langkah non-yudisial barangkali menjadi jalan tengah bagi negara dan korban di tengah kebuntuan untuk mengungkap kejahatan negara pada masa lalu. Upaya ini harus tetap dikawal dan kalau perlu penuntasannya disegerakan supaya memutus ‘lingkaran setan’ dendam warisan.