Bisnis.com, JAKARTA - Delapan dari sembilan partai politik (parpol) di DPR alias parpol parlemen kompak menyatakan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Kedelapan parpol itu adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Mereka secara bersama menandatangani pernyataan sikap penolakan sistem proporsional tertutup. Artinya, hanya PDI Perjuangan (PDIP) parpol parlemen yang tak ikut menandatangani pernyataan tersebut.
Lewat pernyataan sikap itu, mereka mengatakan semenjak Reformasi 1998 Indonesia terus mencoba menyempurnakan sistem pemilunya. Terlihat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008.
Lewat putusan itu, Indonesia mempunyai pemilu sistem proporsional terbuka sehingga masyarakat bisa memilih langsung wakilnya di DPR dan DPRD.
Dengan demikian, mereka menolak adanya wacana kembalinya ke sistem pemilu proporsional tertutup yang membuat masyarakat hanya memilih parpol dan parpol yang menunjuk kadernya di DPR dan DPR. Delapan parpol itu mengaku tak mau melihat kemunduran demokrasi.
Baca Juga
Mereka pun menyatakan tiga poin sikap. Pertama, mereka berkomitmen akan mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.
"[Kedua] kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia," tulus mereka, dikutip Selasa (3/1/2023).
Ketiga, mereka mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bekerja sesuai amanat UU, tetap independen, hanya mewakili kepentingan rakyat dan negara.
Ada 14 nama yang menandatangani pernyataan sikap tersebut, yaitu Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakkir, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI Ahmad Muzani, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR Desmond J. Mahesa.
Lalu, Ketua Fraksi Partai NasDem DPR Robert Rouw, Sekretaris Fraksi Nasdem DPR RI/Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR Cucun Ahmad Syamsurijal, Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin.
Lebih lanjut, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Edhie Baskoro Yudhoyono, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Marwan Cik Hasan, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Saleh Partaonan Daulay, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR Achmad Baidowi, dan Wakil Ketua Komisi II DPR Syamsurizal.
Sikap PDIP
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mendukung wacana penerapan sistem pemilu proporsional tertutup untuk Pemilu 2024.
Hasto sendiri mengatakan Kongres V PDIP sudah memutuskan sistem proporsional tertutup lebih sesuai dengan amanat konstitusi, yang UUD 1945 menyebutkan anggota DPR dan DPRD berasal dari partai politik.
Dia berpendapat, banyak keuntungan dari sistem pemilu proporsional tertutup, terutama dalam hal penciptaan keorganisasian partai yang lebih baik.
“Hal tersebut [sistem pemilu proporsional tertutup] akan mendorong proses kaderisasi partai politik dan berdampak pada mencegah berbagai bentuk liberalisasi politik, dan selanjutnya juga memberikan insentif bagi meningkatkan kinerja di DPR,” ungkap Hasto dalam jumpa pers yang diselenggarakan secara daring, Jumat (30/12/2022).
Selain itu, lanjutnya, banyak juga dampak positif dalam penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup, dalam hal ini pencegahan kecurangan hingga biaya pemilu itu sendiri.
“Karena ini [Pemilu 2024] adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan dan yang terpenting di tengah persoalan perekonomian kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan sehingga akan menghemat secara signifikan biaya pemilu,” ungkapnya.
Meski begitu, Hasto menekankan dirinya akan menyerahkan segala aturan terkait sistem pemilu kepada DPR. Bagaimanapun, lanjutnya, DPR merupakan pembuatan peraturan perundang-undangan.
“Hal itu sekiranya jadi ranah dari DPR RI terkait hal tersebut,” tutupnya.