Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Intelijen Amerika Serikat mengungkap pada bulan Maret pasukan Rusia mengalami kelelahan akibat pertempuran perang Rusia vs Ukraina. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin masih ingin merebut sebagian besar wilayah Ukraina.
AS menilai pasukan Moskow telah mengalami pelemahan, sehingga kemungkinan mereka hanya mampu membuat keuntungan teritorial dengan lambat.
Melansir bbc.com pada Kamis (30/6/2022), Kepala Intelijen Nasional Avril Haines mengatakan perang akan berlangsung lama.
Adapun, pada bulan Maret Moskow kembali memfokuskan upayanya untuk merebut garis terdepan wilayah Donbas Ukraina, setelah gagal merebut ibu kota Kyiv dan kota-kota lain.
Dirinya mengatakan Putin tetap berniat untuk menguasai sebagian besar Ukraina. Namun, pasukan Rusia tidak mungkin mencapai tujuan itu dalam waktu dekat.
"Kami melihat adanya hal yang tidak imbang, antara tujuan militer jangka pendek Putin dan kapasitas militernya, ada ketidasesuaian antara ambisinya dan apa yang dapat dicapai oleh militernya," katanya dalam konferensi Departemen Perdagangan AS, bbc.com pada Kamis (30/6/2022).
Setelah tidak lagi berupaya menguasai Ibu Kota Kyiv dan kota terbesar kedua Kharkiv, kini Vladimir Putin sedang mengusahakan kemenangan di wilayah timur Donbas Timur Ukraina, yang merupakan kawasan industri besar, di mana Putin telah mengklaim bahwa Ukraina telah melakukan genosida pada sebagian besar penduduknya berbahasa Rusia.
Diketahui, baru-baru ini pasukan Rusia telah menguasai kota Severodonetsk dan memperoleh keuntungan di sana, tetapi kemajuannya lambat, sehingga pasukan Ukraina telah melakukan perlawanan yang kuat.
Baca Juga
Perang Rusia vs Ukraina Berlangsung Lama
Menurut Haines lewat penilaian publik pertamanya tentang perang sejak Februari 2022, invasi Rusia akan berlanjut untuk jangka waktu yang lama.
"Singkatnya, gambarannya tetap sangat suram dan sikap Rusia terhadap Barat semakin keras," kata Haines.
Dia menerangkan bahwa badan-badan intelijen AS melihat adanya tiga kemungkinan skenario terkait konflik sengit ini, di mana pasukan Rusia "membuat keuntungan tambahan, tanpa kesulitan."
Skenario lainnya termasuk terobosan besar Rusia dan Ukraina berhasil menstabilkan garis depan sambil mencapai keuntungan kecil, mungkin di dekat Kota Kherson yang dikuasai Rusia dan daerah lain di Ukraina selatan.
Sayangnya, Haines juga menyebutkan bahwa hal tersebut membuat Rusia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali militernya.
"Selama periode ini, kami mengantisipasi, mereka akan lebih bergantung pada alat asimetris yang mereka miliki untuk menargetkan musuh-musuhnya, seperti serangan cyber, upaya untuk mengendalikan energi, bahkan penggunaan senjata nuklir untuk mencoba memproyeksikan kekuatan dan pengaruh secara global," terang Haines.
Diketahui, komentar Haines muncul pada hari Rabu setelah para pemimpin NATO berjanji untuk mendukung Ukraina selama yang diperlukan dengan meningkatkan kehadiran pasukan mereka di seluruh Eropa, termasuk mengundang Finlandia dan Swedia itu yang sebelumnya netral untuk bergabung dengan aliansi tersebut.
Presiden Joe Biden yang bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pun menyebutnya ini adalah aliansi dengan perombakan terbesar sejak Perang Dingin. Biden pun bersumpah bahwa NATO akan diperkuat ke segala arah di setiap domain - darat, udara dan laut.
Menanggapi kemungkinan kedua negara Nordik menjadi anggota NATO, Putin menuduh aliansi militer sengaja meningkatkan ketegangan.
"Jika pasukan dan infrastruktur NATO dikerahkan, Maka Rusia secara terpaksa akan merespons," kata Putin saat dalam perjalanan ke Turkmenistan.
Sementara itu, pemerintah Inggris akan memberikan bantuan militer sebesar US$1,2 miliar lebih lanjut ke Ukraina, hampir dua kali lipat dari dukungannya sejauh ini. Hanya AS yang memberikan lebih banyak bantuan militer ke Ukraina daripada Inggris.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan negaranya membutuhkan sekitar US$5 miliar sebulan untuk mendanai perang melawan Rusia.