Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan saksi tindak pidana korupsi kasus suap terkait proyek Dinas PUPR Kota Banjar untuk tersangka eks Wali Kota Banjar Herman Sutrisno (HS).
Saksi yang dipanggil KPK adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga Partai Amanat Nasional (PAN) dan anggota DPRD.
“Pemeriksaan dilakukan di Kantor Perwakilan BPKP Propinsi Jawa Barat atas nama yang pertama Gun Gun Gunawan selaku Ketua DPD PKB Kota Banjar,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Rabu (23/2/2022).
Ali menjelaskan bahwa saksi selanjutnya adalah Rosidin sebagai wiraswasta atau Anggota DPRD Fraksi PPP Kota Banjar tahun 2003—2018 dan Husin Munawar selaku Anggota DPRD Kota Banjar dari Fraksi PAN tahun 2004—2013.
“Saksi keempat adalah Hunes Hermawan sebagai Ketua DPD Partai PAN. Terakhir Mujamil, Anggota DPRD Kota Banjar dari PPP tahun 2009—2013, 2014—2018 dan 2019–2024,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan eks Wali Kota Banjar Herman Sutrisno (HS) dan Rahmat Wardi (RW) sebagai swasta atas kasus dugaan suap terkait proyek pekerjaan infrastruktur pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Kota Banjar tahun 2008—2013 dan gratifikasi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan bahwa konstruksi perkara bermula pada Rahmat yang merupakan salah satu pengusaha jasa konstruksi di Kota Banjar. Dia diduga memiliki kedekatan dengan Herman selaku Walikota Banjar periode 2008—2013.
“Sebagai wujud kedekatan tersebut, diduga sejak awal telah ada peran aktif dari HS di antaranya dengan memberikan kemudahan bagi RW untuk mendapatkan izin usaha, jaminan lelang dan rekomendasi pinjaman bank sehingga RW bisa mendapatkan beberapa paket proyek pekerjaaan di Dinas PUPRPKP Kota Banjar,” kata Firli saat konferensi pers, Kamis (23/12/2021).
Firli menjelaskan bahwa antara tahun 2012—2014, Rahmat dengan beberapa perusahaannya mengerjakan 15 paket proyek pekerjaan Dinas PUPRPKP Kota Banjar dengan total nilai proyek sebesar Rp23,7 miliar.
Sebagai bentuk komitmen atas kemudahan yang diberikan oleh Herman, Rahmat memberikan fee proyek antara 5 persen sampai 8 persen dari nilai proyek.
Pada Juli 2013, Herman diduga memerintahkan Rahmat melakukan peminjaman uang ke salah satu bank di Kota Banjar dengan nilai yang disetujui sekitar Rp4,3 miliar. Dana tersebut kemudian digunakan untuk keperluan pribadi Herman dan keluarganya, sedangkan untuk cicilan pelunasannya, tetap menjadi kewajiban Rahmat.
Rahmat juga diduga beberapa kali memberikan fasilitas pada Herman dan keluarganya, di antaranya tanah dan bangunan untuk pendirian Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji di Kota Banjar.
Selain itu Rahmat juga diduga memberikan sejumlah uang untuk biaya operasional rumah sakit swasta yang didirikan oleh Herman.
Selama masa kepemimpinan Herman sebagai Walikota Banjar, diduga pula banyak menerima pemberian sejumlah uang dalam bentuk gratifikasi dari para kontraktor dan pihak lainnya yang mengerjakan proyek di Pemerintahan Kota Banjar.
Saat ini, tim penyidik KPK masih terus melakukan penghitungan jumlah nilai penerimaan gratifikasi tersebut.
Atas perbuatannya, Firli menuturkan bahwa Rahmat disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya.