Bisnis.com, JAKARTA -- Nama Prabowo Subianto, Ganjar Prabowo, dan Anies Baswedan selalu menempati peringkat tiga besar tokoh yang memiliki elektabilitas paling tinggi.
Ketiga tokoh itu mampu mengungguli elit-elit partai lainnya, termasuk Puan Maharani dan Airlangga Hartarto.
Puan Maharani adalah elit PDIP, anak kandung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sayangnya elektabilitas Puan tergolong sangat rendah, nasakom alias nasib satu koma.
Sementara, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, nasibnya lebih tragis lagi, elektabilitasnya tak sampai 1 persen, tepatnya 0,5 persen.
Meski memiliki elektabilitas rendah, kans Airlangga dan Puan, dalam kasus tertentu adalah Prabowo, untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden atau Pilpres 2024 lebih tinggi dibandingkan Ganjar dan Anies.
Airlangga, Puan dan Prabowo adalah elit dan pemilik partai. Tanpa elektabilitaspun, mereka bisa dapat rekomendasi partai dan maju sebagai capres 2024.
Baca Juga
Sementara Ganjar, betapapun meroketnya elektabilitas yang dimiliki, tetaplah kader PDIP. Sebagai seorang kader, Ganjar harus mematuhi kaidah dan aturan partai. Sebab, jika sengaja membangkang, dia akan kehilangan posisi dan ditendang dari partai berlambang banteng.
Apalagi, elit-elit partai banteng telah berulangkali mengeluarkan kata-kata yang cukup pedas. Megawati, misalnya, penguasa PDIP yang tak tergantikan dari zaman reformasi hingga saat ini, terus mengingatkan supaya kadernya loyal. Jika tidak loyal, lebih baik mengundurkan diri daripada dibuang dari kandang.
Setali tiga uang, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga menegaskan bahwa satu-satunya kewenangan untuk menunjuk calon presiden dari PDIP hanya ketua umum. Tanpa sabda dan restu ketua umum, maka jangan harap, para kader meski memiliki popularitas yang menjulang bisa maju ke gelanggang.
Adapun Anies, pemilik peringkat ketiga elektabilitas paling tinggi, memiliki nasib yang kurang lebih sama dengan Ganjar. Dia jelas bukan elit partai, kader partai, apalagi pemilik modal. Gampangnya dia hanya bermodal popularitas, itupun segmen pemilihnya sangat terbatas, kalangan tertentu dengan orientasi politik tertentu.
Anies juga mengalami posisi yang cukup pelik. Pasca 2022, dirinya sudah tidak lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Itu artinya, Anies akan kehilangan jabatan dan berpotensi hilang dari panggung politik.
Kondisi ini tentu menghadapkan Anies dalam sebuah pilihan yang dilematis masuk partai atau menempuh cara jalanan seperti Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan.
Namun dengan sistem politik dan ketentuan yang berlaku saat ini, tanpa restu dari partai politik, rasanya berapapun angka elektabilitas yang dimiliki Ganjar dan Anies akan sulit maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Jalan satu-satunya bagi Ganjar dan Anies untuk maju jadi ke Pilpres ya tetap harus sungkem ke parpol. Tanpa itu, jangan ngimpi jadi presiden.