Bisnis.com, JAKARTA – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi salah satu partai yang menolak adanya rencana revisi terhadap Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
Sekretaris PPP Achmad Baidowi menyebut salah satu alasannya karena partai tidak ingin DPR terlalu gegabah menguji undang-undang yang pengimplementasiannya belum menyeluruh.
“Kami ingin memulai sakralisasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan, maka dari itu PPP tidak setuju [perubahan UU Pemilu]. Masih ada beberapa pasal yang belum diterapkan saat Pemilu dan Pilkada kemarin, sehingga kami menilai terlalu gegabah jika melakukan pembahasan saat ini,” tutur Baidowi dalam acara diskusi yang diadakan Smart FM dan Populi Center, Sabtu (30/1/2021).
Baidowi menambahkan, bahwa tidak ada salahnya UU Pemilu diuji dulu setelah dua kali pelaksanaan pilpres, agar evaluasi yang dihasilkan juga lebih valid.
Untuk itu, PPP menilai ada baiknya revisi baru dilakukan setelah Pilpres 2024 rampung.
“Apakah ada presedennya UU Pemilu diterapkan dua kali? Ada, yakni pada UU Pemilu 2008, saat itu diterapkan pada Pemilu 2009 dan 2014, dan hasilnya setelah itu evaluasi [revisi tahun 2017] juga lebih baik. Jadi kami harap nanti bisa seperti itu, menganalisa setelah dipakai pada dua periode Pemilu.”
Baca Juga
PPP tidak sendirian. Kendati bukan anggota koalisi pemerintah, Partai Amanat Nasional (PAN) menyuarakan penolakan pula.
Wakil Ketua Umum DPP PAN, Viva Yoga Mauladi cenderung tidak setuju revisi dilakukan pada tahun ini lantaran berdasarkan pengalamannya, revisi yang terlalu cepat biasanya hanya akan membahas hal-hal yang tidak jauh dari kepentingan subjektif partai.
“Tidak ada urgensinya mengubah UU Pemilu, apalagi Pilkada sekarang. Perdebatannya di DPR itu-itu juga, dan yang dibahas toh itu-itu saja,” timpalnya.
Pembasan itu-itu saja yang dimaksud Viva, misalnya, terkait Pemilu dilakukan dengan sistem terbuka atau tertutup. Atau, pembahasan soal fungsi per daerah pemilihan (dapil).
“Kemudian paling-paling soal parlementary treshold, lalu presidential treshold, dan konversi suara menjadi bersih. Pembahasannya lebih banyak ke kepentingan subjektif karena kita tahu hidup matinya partai itu memang di UU Pemilu.”
Meski demikian, tidak seperti PPP, PAN cenderung membuka kemungkinan sepakat bila pembahasan RUU Pilkada dilakukan pada tahun 2022, 2023, atau 2024. Mereka hanya menilai bahwa tahun ini bukan tahun yang tepat, karena banyak masalah yang lebih penting untuk dibahas.
“Nanti-nanti kan masih bisa. Lagipula Pemilu masih baru akan dilaksanakan 2024. Waktunya masih lama,” tandasnya.