Bisnis.com,JAKARTA- Sebagian kalangan berharap jajaran pimpinan Majelis Ulama Indonesia yang baru menjabat bisa mengambil kebijakan yang berbeda dari kepemimpinan sebelumnya.
Pasalnya, pemilihan pemimpin baru yang dinilai lebih moderat untuk MUI pada November lalu disebut penting dan memicu optimisme di Indonesia untuk menghentikan konservatisme serta radikalisme.
Alex Arifianto, peneliti politik Indonesia di S Rajaratnam Singapura School, mengatakan MUI memiliki pengaruh besar pada kehidupan muslim di Indonesia sejak 2005, ketika Pemerintah kerap menjadikan lembaga itu sebagai otoritas utama dalam praktik keagamaan Islam. Organisasi ini pun menerima sebagian dana pemerintah tetapi bersifat semi-otonom.
“Sebenarnya semua yang mereka lakukan dalam kehidupan pribadinya, dari pakaian seperti apa yang harus mereka kenakan di depan umum, barang atau jasa apa yang akan mereka beli, hingga perilaku atau aliran Islam yang harus mereka hindari, diatur dalam fatwa MUI,” katanya sebagaimana dilansir dari scmp.com, Sabtu (2/1/2021).
Ketua MUI yang baru, Miftachul Akhyar, diketahui merupakan ulama senior, juga merupakan pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama (NU), yang memiliki 90 juta pengikut dan dikenal dengan pandangan moderatnya. Arifianto menilai bahwa di dalam NU, Miftachul dianggap sebagai ulama moderat hingga konservatif, yang mewakili pandangan arus utama dalam organisasi.
Syafiq Hasyim, dosen Universitas Islam Internasional mengatakan Miftachul, pakar fiqh Islam, lebih tertarik pada ilmu agama daripada larut dalam permainan politik. “Dia bisa sedikit literal dalam pemahamannya tentang Islam, tapi masih bisa mengambil posisi moderat,” kata Syafiq.
Baca Juga
Sementara itu, Ahmad Suaedy, akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia mengatakan MUI menjadi sangat konservatif antara 2005 dan 2010, di era Susilo Bambang Yudhoyono yang mendapat banyak dukungan dari ulama konservatif.
Alhasil, kata Suaedy, apapun yang diinginkan ulama konservatif, SBY menampung aspirasi tersebut. Era tersebut, tuturnya, juga menandai masa Islamisasi birokrasi pemerintahan, merujuk pada maraknya ideologi garis keras di kalangan pamong praja.
Saat itu, Ma'ruf - yang hanya menjadi kurang konservatif setelah menjadi wakil presiden, dan Din Syamsuddin dipandang berperan penting dalam mengeluarkan fatwa kontroversial, termasuk terhadap sekte Ahmadiyah, yang dianggap sesat. Akibatnya, kelompok Islam garis keras, termasuk Front Pembela Islam (FPI) yang baru-baru ini dilarang, tidak segan-segan menyerang pengikut Ahmadiyah, yang diperkirakan berjumlah lebih dari 400.000 orang.
Suaedy pun pernah menjadi korban oleh anggota FPI pada 2008 dalam aksi unjuk rasa memperingati lahirnya ideologi negara Pancasila yang mengedepankan persatuan di tengah keberagaman.
“Fatwa Ahmadiyah sangat merugikan kelompok itu. Ada sekitar selusin serangan kekerasan terhadap kelompok tersebut, paling signifikan di Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat, yang terjadi antara 2005 dan 2020, ”kata Arifianto.
Akibat penyerangan tersebut, puluhan ribu pengikut Ahmadiyah terusir dari rumahnya dan terpaksa direlokasi ke kamp pengungsian dengan kondisi kehidupan di bawah standar. Arifianto mengatakan bahwa hingga hari ini, pemerintah dan penduduk setempat menolak untuk membiarkan mereka kembali, meskipun Menteri Urusan Agama yang baru diangkat, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan pekan lalu bahwa dia akan menegakkan hak-hak mereka dan menghentikan penganiayaan.
MUI pada 2005 juga mengeluarkan fatwa yang menentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme yang menyatakan bahwa konsep tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Akibatnya, Jaringan Islam Liberal, kehilangan banyak dukungan publiknya.
Menurut Arifianto, JIL secara efektif menghentikan operasinya pada 2008, hanya tiga tahun setelah fatwa dikeluarkan. Para aktivisnya yang paling menonjol, termasuk Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Sahal, masih merupakan intelektual publik yang aktif, mereka tetap dikucilkan oleh kalangan Muslim konservatif, tambahnya.
Arifianto pun mendesak pimpinan MUI mengutuk segala bentuk pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan atas nama Islam.
“Para pengurus MUI yang baru harus melarang kelompok-kelompok seperti FPI untuk melakukan penggerebekan dan penyerangan terhadap Muslim Ahmadiyah dan Syiah, LGBTQ, non-Muslim, dan agama minoritas lainnya, dan harus mengutuk mereka dengan jelas dan tegas jika mereka melakukan serangan ini,” tambah Arifianto.
Dia juga meminta pimpinan MUI untuk mempertimbangkan mengeluarkan fatwa baru yang menyatakan ujaran kebencian dan takfiri (tuduhan murtad) yang tersebar di media sosial sebagai haram, atau tidak diperbolehkan menurut hukum Islam.
“Saya berharap MUI - bersama NU dan Muhammadiyah dapat mengeluarkan kecaman keras terhadap tindakan ini dan mendorong umat Islam Indonesia untuk tidak mengambil tindakan hukum sendiri dalam situasi yang sangat tegang ini,” katanya.