Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Donald Trump akan meminta Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan kembali semua sanksi terkait nuklir terhadap Iran. Upaya ini akan menghentikan perjanjian nuklir 2015 dan memaksa Teheran kembali ke meja perundingan.
Desakan pemerintah AS akan memicu perselisihan yang kontroversial. Ada kemungkinan bahwa seruan AS akan diabaikan oleh anggota PBB lainnya, dan memuat kemampuan Dewan Keamanan PBB untuk menegakkan keputusannya yang mengikat secara hukum jadi diragukan.
Trump mengatakan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo akan melakukan perjalanan ke New York pada hari Kamis untuk menyampaikan permintaan AS untuk memberlakukan kembali sanksi, dengan menuduh Iran tidak mematuhi kesepakatan nuklir 2015 secara signifikan.
"Ingat, Iran tidak akan pernah memiliki senjata nuklir. Kami membayar mahal untuk konsep yang gagal, kebijakan yang gagal yang tidak memungkinkan perdamaian di Timur Tengah,” kata Trump pada konferensi pers Gedung Putih pada hari Rabu (19/8/2020), seperti dikutip Bloomberg.
Langkah tersebut akan membuat AS berseberangan bertabrakan dengan kekuatan dunia lainnya, yang mengatakan AS tidak memiliki kewenangan untuk menerapkan kembali sanksi internasional
Meskipun banyak negara waspada terhadap Iran, AS hampir sepenuhnya mendapat pertentangan di PBB dalam upaya untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran, bahkan oleh sekutu dekat seperti Prancis dan Inggris.
Baca Juga
Pekan lalu, AS berupaya memperpanjang tanpa batas waktu embargo senjata terhadap Iran yang telah diberlakukan selama 13 tahun. Namun, upaya tersebut digagalkan di meja Dewan Keamanan PBB, dengan 11 anggota abstain dan China dan Rusia memveto usulan tersebut. Hanya Republik Dominika yang sepakat dengan AS.
Departemen Luar Negeri merujuk teguran itu dalam sebuah pernyataan setelah Trump berbicara pada hari Rabu.
"Pemberitahuan Menteri Pompeo kepada Dewan Keamanan menyusul kegagalan Dewan yang tidak dapat dimaafkan minggu lalu untuk memperpanjang embargo senjata pada negara pendukung terorisme dan anti-Semitisme terkemuka dunia," demikian menurut pernyataan Departemen Luar Negeri, seperti dikutip Bloomberg.
Sejak menjabat, Trump telah menggunakan sanksi yang semakin keras dan tekanan diplomatik untuk mencoba meyakinkan sekutu di Eropa untuk keluar dari kesepakatan nuklir 2015.
Trump menuduh Iran menggunakan pendapatan yang didapat dari pelonggaran sanksi untuk mendanai konflik mulai dari Suriah ke Yaman tanpa mengakhiri ambisi Teheran terhadap senjata nuklir.
Trump telah berulang kali mengatakan dia percaya bahwa mengakhiri kesepakatan dan menerapkan pembatasan yang ketat akan meyakinkan para pemimpin Iran untuk memasuki pembicaraan dengan kesepakatan yang lebih besar dan lebih baik, yang akan membantu mendorong perdamaian di seluruh Timur Tengah.
Sanksi tersebut memang memberikan pukulan ekonomi terhadap Iran. Sekutu Eropa yang mendukung kesepakatan nuklir berjuang untuk menemukan jalan keluar dari pembatasan AS, yang merampas investasi Iran dan menyebabkan mata uangnya anjlok.
Tetapi pemerintah Presiden Hassan Rouhani berdiri teguh dan berulang kali mengesampingkan pembicaraan apa pun.
Setelah AS mengajukan keluhannya, Dewan Keamanan memiliki waktu 30 hari untuk memberikan suara untuk resolusi melanjutkan keringanan sanksi Iran di bawah proses "snapback" yang diuraikan dalam kesepakatan nuklir 2015. Langkah tersebut kemudian dapat diveto oleh AS.
Jika resolusi tersebut tidak diadopsi, sanksi PBB yang dilonggarkan dengan imbalan pembatasan pada program nuklir Iran secara teoritis akan dibatalkan, sehingga secara efektif mengakhiri kesepakatan nuklir Iran.
Tim analis International Crisis Group dalam laporannya menyatakan setiap upaya AS untuk memberlakukan kembali sanksi akan menjadi tindakan kontroversial dan kemungkinan akan menciptakan kebuntuan di Dewan Keamanan.
“Tujuan pemerintahan Trump sangat jelas, yaitu menghentikan kesepakatan atau mempersulit pemerintahan setelahnya untuk bergabung kembali ke dalam kesepakatan tersebut,” ungkap mereka.