Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berulang kali mengungkapkan narasi untuk membela Palestina. Setelah pengembalian Hagia Sophia sebagai masjid, Erdogan disebut mengincar pembebasan masjid Al-Aqsa di bawah opresi Israel.
Pizaro Gozali Idrus, Jurnalis Kantor Berita Turki Anadolu Agency mengatakan ajakan membela Palestina sudah digemborkan oleh Erdogan di depan komunitas internasional, termasuk negara Arab yang dinilai kurang bersimpati terhadap nasib Palestina.
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah memutuskan mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid pada 10 Juli 2020 - setelah 86 tahun menjadi museum di bawah kekuasaan Ataturk- Erdogan mengungkapkan akan mengembalikan kebebasan Masjid Al-Aqsa dari teks bahasa Arab yang diterjemahkan.
"Kalau Yerussalem hilang atau gagal untuk dilindungi, maka akan berdampak ke Mekkah, Madinah, dan Jakarta. Itu narasi Erdogan," kata Pizaro dalam webinar Hagia Sophia dan Langkah Geopolitik Turki, Senin (27/7/2020).
Narasi terkait dengan pembebasan beberapa kali terlihat dari Erdogan yang mengkritisi ketidakadilan global dan menjadi salah satu alternatif suara bagi yang tertindas.
"Salah satu narasi dia, the world is bigger than five," katanya.
Baca Juga
Lima yang dimaksud adalah anggota Dewan Keamanan (DK) PBB yakni AS, Rusia, Inggris, China, Perancis yang memegang kendali keamanan dunia, tetapi gagal dalam menjalin stabilitas keamanan.
Sebut saja AS yang mendukung Israel yang mengubah status sah Masjid Aqsa menjadi ibukota Israel dan China yang terlibat kasus pelanggaran HAM kaum Uighur.
Dukungan terhadap Palestina juga diungkapkan oleh berbagai pihak bahkan partai sekuler Partai Rakyat Republik (CHP).
Bahkan, ketua parlemen Turki menegaskan bahwa Yerusalem adalah garis merah kebijakan luar negerinya.
"Maka tidak aneh jika isu Hagia Sophia gongnya diteruskan ke isu pembebasan Masjidil Aqsa karena bentuk kebijakan luar negeri Turki melibatkan stabilitas kawasan sebagai priorotas mereka," katanya.
Pizaro juga meyakini posisi Turki dalam geopolitik dunia tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama di benua Eropa.
Tampak luar Hagia Sophia di Istanbul, Turki./Antara - Nanien Yuniar
Jika dalam kasus suriah Uni Eropa (UE) tidak menyetujui langkah Turki, tetapi di satu sisi UE tidak punya pilihan karena Turki menjadi tuan rumah
bagi 3,5 juta pengungsi Suriah.
UE juga sangat bergantung pada ekonomi Turki karena 50 persen ekspor Turki ke Eropa sedangkan lebih dari 67 persen investasi langsung di Turki datang dari Eropa. Turki adalah pintu gerbang bagi pasar Eropa dan global.
Begitu pula dengan hubungannya dengan Rusia yang menyambungkan pipa gas alam dengan kapasitas 31,5 miliar meter kubik ke Eropa dan Turki. Hal ini terlihat dari respons Rusia yang tetap menghargai keputusan Erdogan soal Hagia Sophia sebagai tindakan negara berdaulat.
Sementara itu, Peneliti Center for Islamic Middle East Studies (CIMES) Nizar Umar mengatakan pembukaan Hagia Sophia kurang ramai dibicarakan dunia karena muncul di tengah kondisi krisis seperti pandemi Covid-19, ketegangan di Samudera Pasifik, aneksasi Palestina, dan konflik lainnya.
Namun, dia menilai langkah ini menjadi penting karena Turki perlu pijakan kuat karena tengah dilingkupi oleh konflik internal seperti kalangan sekuler dan beberapa atheis.
Konflik regional seperti dengan Suriah, Irak, Iran, Lebanon. Bahkan hubungannya juga kurang harmonis dengan Yunani, UE, Arab Saudi, Mesir, dan AS.
"Pengembalian posisi Hagia Sophia sebagai masjid adalah sebuah proses Turki untuk memperkuat tumit pijakannya karena di Turki 90 persen muslim, tetapi tidak pernah mengatakan negara Islam meski anggota OKI," ungkapnya.
Gli, kucing yang tinggal di Hagia Sophia atau Ayasofya. Hagia Sophia adalah bangunan bersejarah yang ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Foto ini diambil di Istanbul, Turki, pada 2 Juli 2020./ANTARA - Reuters/Murad Sezer
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Indonesia M Sya'roni Rofii mengungkapkan bahwa perubahan Hagia Sophia menimbulkan efek psikologi bagi masyarakat muslim yang sudah merasa tertekan dengan pemerintahan yang sekuler.
Secara singkat, setelah runtuhnya kekuasaan Utsmaniyah atau Ottoman pada 1923, Mustafa Kemal Ataturk membangun Republik Turki. Saat itu kegiatan yang berbau Islam dihentikan karena lebih condong kepada modernisasi dan sekulerisasi.
Dua pemimpin Turki, yakni Adnan Menderes dan Turgut Ozal yang menawarkan konsep baru berupa liberalisasi ekonomi dan sosial berakhir dengan kudeta bahkan dihukum mati dan terbunuh.
Era Necmetin Erbakan pada 1990-an yang membuat kebijakan berorientasi Islam juga berakhir dikudeta pada 1997. Munculah Erdogan dengan yang politik 'kanan tengah' yang mampu mencetak pertumbuhan pembangunan dan ekonomi pesat.
"Ketika 86 tahun kemudian politisi Islam [Erdogan] berhasil duduk di singgasana kekuasaan ketika kebijakan diganti seperti mengambil kembali hak mereka sehingga mereka kembali unggul," tuturnya.