Bisnis.com, JAKARTA - Video Presiden Jokowi marah dalam rapat kabinet pada 18 Juni, yang baru diunggah Sekretariat Presiden, pada 28 Juni menimbulkan sejumlah pertanyaan dan analisis.
Muncul anggapan bahwa video marah-marah Presiden itu bagian dari setting-an, apalagi Presiden saat marah terlihat sambil sesekali menatap teks.
Jika mengutip penjelasan Kepala Staf Kepresidenan kepada Antara, Presiden memang gemas dengan kinerja menteri di masa pandemi.
Sehari setelah video itu beredar, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko secara khusus mengungkap latar belakang dan alasan Presiden Joko Widodo menegur keras jajaran kabinetnya dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020.
"Presiden memberikan gambaran dan mengajak semua pembantu Presiden, menteri dan kepala lembaga untuk memahami sungguh-sungguh karena kita sedang mengalami situasi krisis, situasi extraordinary (luar biasa) yang harus dipahami secara extraordinary, kita tidak bisa melakukan dengan cara linier, untuk itu Presiden menekankan bagaimana menangani situasi kritis itu juga harus secara extraordinary," kata Moeldoko kepada Antara.
Presiden, ujar Moeldoko, khawatir ada yang berpikir kita tidak sedang memasuki situasi yang krisis.
Baca Juga
Moeldoko menyebutkan bahwa Presiden memberikan pernyataan lebih keras, untuk men-challenge (memberikan tantangan) menteri dan kepala lembaga agar membangun sense (kepekaan) dan setelah itu harus mencari cara-cara baru.
Ditanya tingkat kegemasan Presiden atas kinerja menteri, jika menggunakan skor 1 sampai 5, menurut Moeldoko tingkat gemas Presiden sudah mendekati angka 5.
Lantas apakah video kemarahan Presiden yang diunggah 10 hari setelah kejadian tidak memiliki agenda tertentu?
Pengamat politik Yunarto Wijaya sepakat jika ada yang mengatakan ada agenda setting, "walaupun agak berbeda," ujar Yunarto.
Terkait adegan Presiden Jokowi marah sambil melihat teks, Yunarto menegaskan bahwa marah dengan teks adalah bentuk marahnya pemerintah. Berbeda dengan marah tanpa teks yang dilakukan oposisi, ujar Yunarto sambil mencontohkan marahnya Prabowo saat masa pilpres 2019.
"Kemarahannya [Presiden Jokowi] memang katakanlah disiapkan untuk kebutuhan internal;" ujar Yunarto pada webinar Solusi untuk Negeri, Sabtu (4/7/2020).
Tapi, duga Yunarto, setelah itu ada kebijakan lain yang ingin diambil yakni reshuffle. Jika hal itu yang terjadi, maka marahnya Jokowi merupakan sebuah prakondisi yang baik.
"Kedua, memang ada rencana reshuffle, tapi kemudian ada testing the water," ujar pengamat dengan sapaan populer Toto ini. "Atau mungkin, Presiden sudah memutuskan [untuk melakukan] reshuffle," lanjutnya.
Toto menambahkan, selain prakondisi, ekspresi marah Presiden juga bisa dinilai sebagai cara untuk menaikkan posisi tawar di hadapan para menteri atau partai politik.
Bisa juga, lanjut Toto, pengunggahan video marahnya Presiden dimaksudkan sebagai prakondisi agar ketika benar-benar terjadi reshuffle, masyarakat tidak terlalu kaget,
Sebelumnya, Rocky Gerung mengatakan meski Presiden memiliki hak untuk melakukan reshuffle kabinet, penentu dalam proses reshuffle adalah sekelompok kekuatan politik yang berada di belakangnya.
"Politik kita ada variabel yang enggak mungkin dibaca surveyor, komparatif politik enggak mungkin bisa membacanya," ujar Rocky Gerung.
Secara normatif, yang memutuskan reshuffle memang presiden. "Tapi siapa yang menetukan keputusan tersebut? Di belakang presiden ada oligarki yang harus tetap terjaga bahkan saat [Presiden] mundur [pada] 2024," ujar Rocky.
Rocky menyebutkan bahkan setelah tidak menjadi Presiden RI, Jokowi tetap punya beban agar setelah 12 jam lengser dia tidak dipermasalahkan.
Rehuffle, ujar Rocky, tidak bisa lepas dari jaminan bahwa oligarki politik yang ada tidak keberatan.
"Kepentingan politik ditetukan oleh oligarki yang tersembunyi," ujar Rocky Gerung.
Selain Rocky dan Yunarto Wijaya, Pangeran Siahaan menjadi pembicara pada webinar bertema Reshuffle: Siapa Layak Diganti dan Menggantikan tersebut.
Yunarto Wijaya sepakat bahwa oligarki menjadi masalah dan akan menjadi lebih bermasalah lagi ketika dalam menyeleksi Presiden rancu dalam memilih kabinet yang generalis atau spesialis.
Masalah menjadi lebih besar jika presiden memberi cek kosong kepada partai politik.
Bagi-bagi kursi kepada partai, menurut Yunarto, bisa dibatasi selain secara kuantitatif juga dengan melakukan filter bahwa anggota kabinet harus teknokratis. Jadi, ketika ada nama yang diajukan parpol tapi ternyata tidak layak, presiden bisa menolaknya.
"Sehingga politik dagang sapi tidak buruk buruk amat," kata Yunarto.
Terkait momen reshuffle, Pangeran Siahaan mengatakan tidak ada waktu yang tepat atau tidak tepat. Hal itu,merupakan hak prerogatif presiden.
Terkait munculnya nama-nama yang disebut-sebut perlu diganti, Pangeran menyebutkan hal itu tidak terlepas dari ekspose terhadap menteri bersangkutan selama ini.
"Menteri yang sering muncul di media akan mudah dihakimi publik," ujar Pange, sapaan untuk Pangeran Siahaan.
Pange menyebutkan, paling tidak hanya 10 sampai 15 menteri yang sering muncul dalam pemberitaan. Sementara, setengah dari anggota kabinet tidak muncul dalam pemberitaan. Bisa jadi masyarakat lupa bahwa nama-nama yang tidak muncul itu adalah menteri.
"Menteri-menteri yang tidak dikenal, tidak ada sentimen, karena tidak ada interaksi," ujar Pange menjelaskan bagaimana kacamata publik menilai menteri di kabinet.
Pange menyebutkan bahwa yang paling sering disebut di media massa adalah Nadiem Makarim. Dari awal, kehadiran Nadiem di kabinet sudah menjadi bahan perdebatan.
"Dengan sendirinya kalau high profile langsung menjadi sasaran tembak. Ekspose besar, tembakan akan makin besar," ujarnya.
Terkait pengganti menteri, jika reshuffle jadi dilakukan Jokowi, Pange menyebutkan mereka akan berasal dari parpol yang sama dengan menteri yang akan digantikan.
"Kalau pun ada yang diganti, mungkin penggantinya akan dari parpol yang sama," ujar Pange.
Hal itu dimaksudkan untuk tetap menjaga jatah atau kekuatan politik agar tidak berubah.
Analisis Pange tersebut didasarkan pada dua kalil reshuffle yang dilakukan Jokowi pada kabinet sebelumnya.