Bisnis.com, JAKARTA - Meski Presiden memiliki hak untuk melakukan reshuffle kabinet, penentu dalam proses reshuffle adalah sekelompok kekuatan politik yang berada di belakangnya.
"Politik kita ada variabel yang enggak mungkin dibaca surveyor, komparatif politik enggak mungkin bisa membacanya," ujar Rocky Gerung dalam diskusi secara virtual, Sabtu (4/7/2020).
Secara normatif, yang memutuskan reshuffle memang presiden. "Tapi siapa yang menentukan keputusan tersebut? Di belakang presiden ada oligarki yang harus tetap terjaga, bahkan saat [Presiden Jokowi] mundur [pada] 2024," ujar Rocky.
Rocky menyebutkan, bahkan setelah tidak menjadi Presiden RI, Jokowi tetap punya beban agar setelah 12 jam lengser dia tidak dipermasalahkan.
Reshuffle, ujar Rocky, tidak bisa lepas dari jaminan bahwa oligarki politik yang ada tidak keberatan.
"Kepentingan politik ditentukan oleh oligarki yang tersembunyi," ujar Rocky Gerung.
Baca Juga
Selain Rocky, pengamat politik Yunarto Wijaya dan Pangeran Siahaan menjadi pembicara pada webinar rutin seri Solusi Untuk Negeri dengan tema Reshuffle: Siapa Layak Diganti dan Menggantikan tersebut.
Yunarto Wijaya sepakat bahwa oligarki menjadi masalah dan akan menjadi lebih bermasalah lagi ketika dalam menyeleksi menteri, Presiden rancu dalam memilih kabinet yang generalis atau spesialis.
Masalah menjadi lebih besar jika presiden memberi cek kosong kepada partai politik.
Bagi-bagi kursi kepada partai, menurut Yunarto, bisa dibatasi selain secara kuantitatif juga dengan melakukan filter bahwa anggota kabinet harus teknokratis. Jadi, ketika ada nama yang diajukan parpol tapi ternyata tidak layak, presiden bisa menolaknya.
"Sehingga politik dagang sapi tidak buruk buruk amat," kata Yunarto.
Terkait momen reshuffle, Pangeran Siahaan mengatakan tidak ada waktu yang tepat atau tidak tepat. Hal itu,merupakan hak prerogatif presiden.
Terkait munculnya nama-nama yang disebut-sebut perlu diganti, Pangeran menyebutkan hal itu tidak terlepas dari ekspose terhadap menteri bersangkutan selama ini.
"Menteri yang sering muncul di media akan mudah dihakimi publik," ujar Pange, sapaan untuk Pangeran Siahaan.
Pange menyebutkan, paling tidak hanya 10 sampai 15 menteri yang sering muncul dalam pemberitaan. Sementara, setengah dari anggota kabinet tidak muncul dalam pemberitaan. Bisa jadi masyarakat lupa bahwa nama-nama yang tidak muncul itu adalah menteri.
"Menteri-menteri yang tidak dikenal, tidak ada sentimen, karena tidak ada interaksi," ujar Pange menjelaskan bagaimana publik menilai menteri di kabinet.
Pange menyebutkan bahwa yang paling sering disebut di media massa adalah Nadiem Makarim. Dari awal, kehadiran Nadiem di kabinet sudah menjadi bahan perdebatan.
"Dengan sendirinya kalau high profile langsung menjadi sasaran tembak. Ekspose besar, tembakan akan makin besar," ujarnya.
Terkait pengganti menteri, jika reshuffle jadi dilakukan Jokowi, maka mereka akan berasal dari parpol yang sama dengan menteri yang akan digantikan.
Hal itu, ujar Pange, dimaksudkan untuk tetap menjaga jatah atau kekuatan politik agar tidak berubah.
Analisis Pange tersebut didasarkan pada dua kalil reshuffle yang dilakukan Jokowi pada kabinet sebelumnya.