Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah nama, Kamis (2/7/2020), muncul di media sosial terkait isu reshuffle kabinet.
Isu reshuffle kabinet itu sendiri bermula dari pernyataan Presiden Joko Widodo dalam rapat bersama para menterinya.
Hal itu bisa dilihat dari video berisi tayangan Sidang Kabinet Paripurna yang menayangkan bagaimana Presiden Joko Widodo memberi peringatan keras kepada jajaran menteri kabinet dalam penanganan wabah Covid-19.
Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang dihelat di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2020) itu, presiden bahkan menyebut opsi reshuffle kabinet jika para menteri tak memiliki sense of crisis.
Video rapat internal berisi arahan Presiden Jokowi itu baru diunggah kanal resmi Sekretariat Presiden di Youtube, Minggu (28/6/2020). Sidang kabinet paripurna tersebut merupakan yang pertama kalinya digelar secara tatap muka setelah pengumuman pandemi Covid-19 pada medio Maret 2020.
Dalam pidato pembukaan rapat, Jokowi beberapa kali meninggikan suaranya. Presiden Indonesia ke-7 itu menyoroti kinerja beberapa kementerian yang kinerjanya tak menujukkan adanya perasaan krisis.
Baca Juga
Jokowi bahkan menyatakan siap mengambil langkah extraordinary untuk mendorong hal ini tak terulang, semisal pembubaran lembaga dan reshuffle kabinet.
Selengkapnya, silakan baca isi lengkap pidato Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020, di Istana Negara, Jakarta Pusat
Sehari setelah video itu beredar, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko secara khusus mengungkap latar belakang dan alasan Presiden Joko Widodo menegur keras jajaran kabinetnya dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 18 Juni 2020.
"Presiden memberikan gambaran dan mengajak semua pembantu Presiden, menteri dan kepala lembaga untuk memahami sungguh-sungguh karena kita sedang mengalami situasi krisis, situasi extraordinary (luar biasa) yang harus dipahami secara extraordinary, kita tidak bisa melakukan dengan cara linier, untuk itu Presiden menekankan bagaimana menangani situasi kritis itu juga harus secara extraordinary," kata Moeldoko.
Dijelaskan Moeldoko bahwa strategi untuk menangani krisis itu adalah pertama kehadiran panglima atau komandan.
"Pak Jokowi hadir secara fisik, beliau begitu melihat Jatim merah langsung datang, itu kehadiran panglima," ujar Moeldoko.
Selain itu, pemimpin memberikan bantuan, memberikan dukungan secara bantuan. Presiden telah memberikan bansos secara masif jumlahnya, macamnya cukup masif.
Ketiga pengerahan kekuatan cadangan, biasanya panglima semaksimal mungkin jangan sampai mengerahkan pasukan cadangan, kalau dikerahkan berarti situasi berantai dan darurat.
Hal itu, ujar Moeldoko, adalah tiga hal yang diambil oleh seorang pemimpin, komandan lapangan dalam menghadapi situasi krisis.
"Untuk itu Presiden menekankan untuk menghadapi situasi krisis seperti ini, maka kehadiran pimpinan lembaga wajib dan mutlak hukumnya agar bisa mengeksekusi kebijakan dengan cepat, tepat dan akuntabel. Tapi kalau pimpinan tidak seperti itu ada kecenderungan lambat, aturan tidak membenahi, sehingga Presiden menekankan jangan kita bekerja hanya terhambat oleh sebuah aturan, akhirnya terbelenggu, ini tidak boleh, cari solusinya untuk rakyat banyak," papar Moeldoko.
Presiden, ujar Moeldoko, menekankan bahwa pemerintah menangani dan bertanggung jawab terhadap 267 juta jiwa, dengan segala cara dan upaya pemerintah akan menjalankan apa pun.
Di sisi lain, papar Moeldoko, Presiden khawatir ada yang berpikir kita tidak sedang memasuki situasi yang krisis.
"Untuk itu diingatkan sekali lagi bahwa kita harus membangun rasa yang sama, bahwa sedang berada di situasi krisis, semua akan mencari metode, cara solusi yang paling efektif dan krusial, kalau tidak merasa situasi krisis, bisa-bisa semuanya menjadi terlambat, tidak cepat," urai Moeldoko.
Moeldoko menyebutkan bahwa Presiden memberikan pernyataan lebih keras, untuk men-challenge (memberikan tantangan) menteri dan kepala lembaga agar membangun “sense” (kepekaan) dan setelah itu harus cari cara-cara baru.
Ditanya tingkat kegemasan Presiden atas kinerja menteri, jika menggunakan skor 1 sampai 5, menurut Moeldoko tingkat gemas Presiden sudah mendekati angka 5.
Presiden menginginkan skema bantuan tidak telat. Peringatan yang diberikan Presiden bukan baru kali itu saja.
Terkait reshuffle, Moeldoko menyebutkan bahwa Presiden mengevaluasi [jajarannya] dari waktu ke waktu. Reshuffle adalah hak prerogatif Presiden.
Kredibilitas Presiden
Di luar latar belakang munculnya peringatan keras Presiden Jokowi, lontaran soal reshuffle kabinet menjadi perhatian banyak pihak.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina menyebutkan kemungkinan reshuffle akan berdampak pada kredibilitas dan legitimasi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di masa mendatang.
Hal itu disampaikan pengamat politik Ahmad Khoirul Umam pada 1 Juli di Jakarta.
Sementara itu, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan pertimbangan Presiden Joko Widodo untuk melakukan pergantian kabinet harus berdasarkan evaluasi bukan karena adanya survei.
Sebelumnya Lembaga Survei Arus Survei Indonesia (ASI) pada Jumat (26/6) mempublikasikan hasil survei tingkat kepuasan kinerja para menteri.
Menurut Arya, melalui evaluasi tersebut Presiden bisa segera mengganti menteri yang masih lambat dalam proses pencairan anggaran dan tidak mampu menjalankan program pemerintah secara cepat.
"Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100 persen hak prerogratif presiden untuk mencopot, dan tugas Presiden untuk membereskannya," ujar Arya dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (1/7/2020) seperti dikutip Antara.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai peringatan keras Presiden Joko Widodo yang menyebut-nyebut rombak kabinet adalah bentuk pengakuan bahwa sejumlah menterinya bermasalah. Menurut Fadli, Jokowi harus menindaklanjuti pernyataannya itu jika tak ingin terdelegitim asi.
"Kalau enggak [ditindaklanjuti], pidatonya dianggap angin lalu saja, enggak jelas seperti teatrikal saja yang ujung-ujungnya mau cuci tangan," kata Fadli di Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (1/7/2020) seperti dikutip Tempo.co.
Fadli menyebutkan bahwa perombakan kabinet adalah persoalan biasa, apalagi Presiden Jokowi sudah mengungkapkan hal itu.
Hal senada sebelumnya disampaikan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Ia menilai kemarahan Jokowi kepada para menteri yang diungkap kepada publik tak ada artinya jika tidak berujung pada rombak kabinet.
Tanpa rombak kabinet, kata Adi, publik hanya akan melihat aib dan kelemahan pemerintahan Jokowi. "Itu kan secara tidak langsung Pak Jokowi mempertontonkan aurat pemerintahannya sendiri," kata Adi kepada Tempo, Rabu.
Mengutip pernyataan Arya Fernandes dari CSIS, rencana reshuffle kabinet sebaiknya menjadi pembicaraan internal istana, bukan menjadi konsumsi publik yang bisa menjadi bola liar.
Kini. bola liar itu secara perlahan sedang menggelinding. Reshuffle terlanjur menjadi isu yang bisa membuat kredibilitas Presiden mengalami koreksi.